Perempuan di Balik Tirai

Perempuan di Balik Tirai "Cerpen"
       
        Namaku Ifa, usiaku sekarang empat puluh dua tahun.  Besok tanggal 29 agustus usiaku bertambah lagi, di usia yang sudah semakin senja aku dan adikku lira terus berusaha menghidupi kebutuhan kami berdua. Aku tinggal bersama adikku di kamar berukuran  4x4 meter, bukan  ukuran yang luas untuk sebuah kos-kosan. Kami tinggal disini sudah sekitar 17 tahun, pemilik kos-kosan ini sudah dua kali berganti, sekarang pemiliknya bu Sekar, purti bungsu pak Ridwan. Sangat tidak mengherankan jika kami terlalu akrab dengan tetangga yang ada disekitar kos ini. Selama kami di sini penghuni delapan kamar yang ada sudah beberapa kali berganti, kecuali kamar nomor 5. Kamar itu dihuni oleh dua perempuan yang sampai detik ini masih bertahan dengan segala idealismenya, itulah kami, aku dan adikku yang sebentar lagi lulus dengan gelar strata dua. Sementara aku tak bisa melanjutkan S2 dengan alasan keterbatasan ekonomi. Tapi tidak dengan Lira, dia alhamdulillah bisa mengenakan toga kebanggaan itu.

         Kalau Lira  bisa mendapatkan gelar sarjana dua kali itu hal yang mudah baginya, tapi tidak dengan gelar pada satusnya, sekarang dia berusia 33 tahun usia optimal untuk berumah tangga, tapi sampai hari ini  tuhan belum juga mempertemukan kami dengan orang yang tepat. Sungguh hal ini terjadi bukan karena kami tidak berusaha untuk mendapatkannya, atau kami menolak untuk dipinang. Namun entahlah kejadian ini terjadi dengan begitu saja. Bagi kami berdua menikah itu bukan peristiwa biasa, ada banyak hal yang perlu dimatangkan dari diri setiap calon pengantin, banyak pertimbangan yang akhirnya menjadikan kami sangat selektif untuk mengarungi bahtera rumahtangga. Kehidupan kami yang sekarang sangat istimewa, kami bisa menikmati makan enak, menonton film kesukaan kami di bioskop, makan diretouran, dan bahkan  berkeliling Indonesia. Bukannya hidup seperti ini yang menyenangkan?.

         Walaupun kami terlihat sangat miskin bagi mereka yang hanya mampu menggunjing keburukan orang lain, sementara mereka sendiri tak bisa melakukannya. Aku yakin diluar sana banyak yang mengasihani kami dan mungkin mengolok-olok kami, yang mengatakan mengapa kami belum menikahlah, mengapa kami masih ngekoslah, mengapa kami hanya hidup berdua. Banyak pula kemungkinan yang mereka buat sendiri, mungkin kami tak ada yang sukalah, mungkin kami sobong sehingga tak ada laki-laki yang mau mendekat, mungkin kami tak punya uang untuk sewa rumah, mungkin kami terlalu berfoya-foya, mungkin kami anak durhaka yang jarang mengunjungi keluarga di kampung, dan banyak lagi. Asal kalian tahu setiap kali mereka menyimpan kalimat-kalimat itu di dalam hati dan mengeluarkannya sebagai gunjingan untuk kami berdua, pada saat itu juga kami merasa biasa-biasa saja dan  tak ada yang perlu dikhawatirkan, bagi aku tak tak ada salahnya mereka berbuat seperti itu, dan tak ada salahnya kalau aku tak menghiraukan mereka, selama aku hidup, senang, bahagia, sehat, itu sudah cukup. Masalah gunjingan mereka cukuplah tuhan yang mengatur untuk siapa dosa itu diberikan dan untuk siapa pahala itu ditujukan.



      Selama ini tak sedikit dari mereka termasuk keluarga kami yang risih dengan kehidupan kami. Bagaimana tidak kehidupan kampung mengharuskan mereka untuk berhasil. Dan terlebih lagi menurut mereka berhasil itu ketika mereka mampu menjadi pekerja kantoran paling tidak menjadi Pegawai Negeri Sipil. Hampir semua keluarga kami berhasil di dua posisi itu menjadi pegawai negri atau menjadi pengusaha kaya raya diperantauannya, bagaimana dan apapun caranya yang penting mereka berhasil mencapai kedua posisi ini. Berbeda dengan aku, bagiku itu bukan jalan satu-satunya untuk sukses, apasih yang kita cari dihidup ini, apa hal itu yang menjadikan mereka bahagia dengan berusaha menjadi pegawai negri, lulus dengan bayaran yang mengharuskan mereka menjual ternak, kebun, sawah dan barang berharga lainnya, atau lulus dengan utang yang menumpuk sehingga gaji mereka hanya untuk menutupi utang. Aneh, urusan dunia yang seperti ini yang sama sekali tak pantas untuk aku jadikan acuan.

         Dan karena sikapku yang seperti inilah aku jadi dikucilkan oleh keluargaku sendiri, satu-satunya yang bertahan untuk menasehati dan menuntunku pada saat itu adalah mak Dewi, nenekku. Setelah papa meninggal 10 tahun yang lalu, kemudia disusul mama dan kakakku, hanya mak Dewi  yang aku sambangi saat kembali ke kampung, semenatar keluargaku yang lain masih bertahan untuk mengkerdilkan kami.

          Perahu kami tampa nahkoda, itu yang terjadi. Satu-satunya jalan aku yang harus jadi nahkoda merangkap ABK sekaligus Tekhnisi. Karena seiring berjalannya waktu, kami tak ingin tergilas olehnya, mereka bisa saja mengatakan banyak hal tentang keburukan kami, atau tentang keangkuhan kami. Bagiku manusia dimana-mana tugasnya sebagai komentator, semua hal dikomentari, terasuk kehidupanku. Its ok, orapopo... ini hudupku, silakan kalian berdiskusi tentang aku, silakan kalian berkomentar, silakan kalian menggunjing, silahkan juga dzoudzhon. Aku hanya bisa menelah ludah, tarik nafas dan kuhembuskan dengan sedikit bisikan kepada tuhan “ hapuskan dosanya, tambahkan pahalaku”. Pengembaraanku bukan untuk membuat orang lain berdosa atau sekedar mencari sensasi dengan semua adengan yang aku buat. Tapi aku yakin seperti inilah skenario tuhan untukku.

         Apa yang aku lakukan semata-mata untuk umat, menjadikan perempuan lebih dari sekedar tahu dandan itu bagaiman, pacaran yang baik itu sama siapa, atau mulut itu bukan sekadar digunakan untuk bergosip. Namu setidaknya ada banyak perempuan yang bisa tampil cantik, anggun, energik, cerdas, dan sigap.

          Kemarin aku bertemu dengan salah seorang kawan lama, dia mengatakan kepadaku kalau aku jangan terlalu menutup diri dari laki-laki. Dia juga mengatakan sekarang saya harus berpikir bagaimana mendapatkan seorang suami, bukan malas mengurusi organisasi atau hanya menyia-nyiakan waktu dengan jalan-jalan. Saat itu aku lumayan tersinggung, bagaimana tidak dia membandingkan dirinya yang sudah punya tiga anak sementara aku masih jomlo, bukan itu saja dia juga membawa-bawa adikku, katanya lagi kalau aku tidak menikah mana mungkin adikku juga bisa menikah. Aku hanya bisa berkelakar sambil mengeluakan sedikit tawa dan berkata,

“ kamu enak, kamu kan cantik, uang kamu banyak. Pasti banyak lelaki yang suka sama kamu. Nah kalau saya bagaimana mau dapat suami, cantik tidak, miskin lagi. Saya hanya punya ilmu yang bisa saya bagi keorang lain”

“ itu masalahnya, kamu terlalu merendahkan diri” tegasnya

“ Din, punya suami itu tidak gampang...”, raut wajahku mulai berubah, dalam hatiku terbersit nekad juga anak ini menasehatiku. Dinda menatap raut wajahku yang mulai masam sambil menunggu lanjutan dari argumentasiku.

“ e Dinda, menikah itu tidak gampang. Butuh tenaga ekstra untuk melakoni kehidupan berumah tangga, bukan hanya itu saja. Bagaimana jika nanti saya sebagai istri tidak bisa melakukan tugas saya, itu akan menimbulkan dosakan?”

“ kesimpulannya tidak seperti itu, semua harus dilakukan dulu baru kita bisa menarik kesimpulan Fa.”

“ terlalu pintar kamu menggurui saya” wajahku kembali dengan tertawaan kecil agar suasana tidak tegang, takut emosi merasuk kejiwa kami.

“ terserahlah, saya hanya ingin melihat kebaikan kamu saja, sampai kapan kamu hidup seperti ini. tinggal di kontrakan. Setidaknya kalau salah satu diantara kalian menikah, pasti hidup kalian akan lebih baik. Kalian justru akan lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan amal. Iyakan?” nampaknya bahasanya telah memasuki antiklimaks.

“aku akan menikah, ketika Allah telah menunjukkan siapa jodohku. Saya tidak mau memaksaakan diriku harus menikah besok atau lusa hanya karena paksaan atau tuntutan biologis, harta ataupun kekuasaan.”

          Perdebatan kami mengahantarkan Dinda pada perasaan yang tidak nyaman karena telah menyelaku. Aku faham dengan kebaikan hatinya, tapi bagiku dia juga harus faham bahwa aku bukan perempuan egois yang hanya mementingkan diriku sendiri. Masih banyak hal yang harus aku pikirkan selain berpikir bagaimana aku bisa mendapatkan jodoh. Menikah bukan sekedar memilih lelaki untuk memenuhi kebutuhan biologis, atau sekedar mendangi kita jalan-jalan, atau juga dijadikan orang yang akan memenuhi kebutuhan ekonomi. Sekali lagi kutegaskan menikah itu berarti proses mendekatkan dua insan kepada kehakikian kehidupan dunia dan akhirat. Lagipula perempuan itu tidak sama dengan lelaki, kalau lelaki jelas ada hukumnya beberapa penelitian medis menunjukkan ternyata laki-laki juga memiliki “jam biologis” maksimal. Yaitu usia matang dan waktu terbaik untuk memiliki anak. Sehingga kesimpulan penelitian tersebut bahwa tidak baik secara medis laki-laki menunda untuk menikah dengan alasan ketika sudah mulai bertambah umur kualitas sperma mulai berkurang dan ini sebagaimana fungsi tubuh yang menurun secara perlahan dengan bertambahnya umur, kemudian usia tua merupakan faktor resiko terjadinya kerusakan (mutasi) DNA sehingga lebih beresiko untuk melahirkan anak yang kurang sehat. tidak menikah kemudian bertumpuknya sperma juga merupakan faktor resiko dari kanker prostat, satu lagi secara psikologis laki-laki yang tidak menikah lebih tidak tenang dan tidak dewasa serta kurang memiliki visi hidup ke depan sehingga perasaan kurang tenang serta pola hidup “single/jomblo” misalnya sering begadang larut malam,  juga merupakan faktor yang bisa membuat kualitas kesehatan menjadi berkurang. Nah itu baru dipandang dari segi medis, bagaimana menurut syariat, ternyata nich Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan hendaklah ia menikah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.” Nah kan itu karena kebanyakan laki-laki tidak bisa menahan syahwatnya beda dengan perempuan. Dan  bahkan beliau melarang (hukumnya) haram bagi laki-laki yang ingin atau berniat tidak menikah seumur hidup.

          Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah membantah sekelompok orang yang mengatakan: Orang pertama mengatakan, “aku akan shalat dan tidak tidur”. Yang kedua mengatakan, “Aku akan terus berpuasa dan tidak berbuka”. Orang ketiga mengatakan, “Aku akan meninggalkan perempuan dan tidak akan menikah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Adapun aku demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku menikahi wanita. Siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku”. Sedangkan perempuan tidak, jika aku tidak mendapatkannya di dunia pasti Allah telah menyiapkan untukku di akhirat. Maaf ini bukan bahasa pembenaran buat semua perempuan yang belum menikah, tapi aku yakin semua akan indah pada waktunya. Lagipula aku punya adik, dia nampaknya sangat mendambakan menjadi seorang istri dam menjadi seorang ibu. Aku akan tetap berusaha mendukung dia untuk mencapai cita-citanya, lagi pula dia cantik, pintar, baik pula, saya yakin pasti ada laki-laki yang suka kepadanya. Cuma saja mungkin dia kurang berusa, sama denganku.

          Sekarang aku hanya berharap kondisiku yang seperti ini akan memperkuat ibadahku keda Allah, agar Beliau tetap mencintaiku, jika ternyata menikah bisa mnejauhkanku dari cintanya Allah maka aku berani memutuskan untuk tidak menikah. Hanya Allah yang tau kebutuhan manusia, bukan manusia itu, menikmati hidup lebih baik dari pada mengurusi pribadi orang lain bukan?, biarlah mereka memberikan seribu penilaian negatif, karna bagiku satu penilaian positif Allah jauh lebih baik.

         Jujur aku ingin sekali melihat adikku Lira menikah sebelum aku berangkat keperaduan terakhirku. Aku takut besok atau lusa tuhan tak lagi mengisinkanku berlama lama di tempat ini, karena sepertinya tuhan mulai enggan melihat aku disepelekan terus oleh mereka yang tidak mengerti tentang diriku. Tapi meski demikian aku tidak akan memaksanya, di dunia ini bukan hanya orang yang dilahirkan oleh satu ibu yang sama yang dianggap saudara, tapi meski rahim yang melahirkan berbeda kita masih tetap bersaudara, hubungan emosional itu sudah kami pupuk dengan beberapa orang yang kami temui dibeberapa organisasi. Jadi aku tak perlu khawatir lagi.

        Insya Allah tuhan berada bersama orang-orang yang senantiasa bersamanya pula, itu yang selalu kujadikan patokan dalam hidupku begitupula pesanku kepada adikku. Jadilah perempuan tangguh yang tak hanya mampu menjadi perempuan tapi juga mampu menjadi laki-laki. Yakinlah, hidup akan menghidupimu jika engkau menghidupkan hidupmu.


Satria R