Menembus Mimpi

Cerpen Menembus Mimpi

MENEMBUS MIMPI

Lho kock uangku hilang? Padahal sudah saya simpan disaku”. Pikirku yang sedikit heran.
Tadi pagi sebelum berangkat aku mengambil uang 700 rupiah di celenganku, celengan monyet yang aku beli di pasar malam, satunya recehan 500 dan dua recehan 100, uang itu untuk jajan di sekolah. Dua minggu lalu ibu memberiku uang Rp.400,-, dan alhamdulillah saya bisa dapat satu pastel di kantin, tapi dengan tambahan 600 rupiah dari Dinar, teman sebangkuku di kelas.

 “Tapi kock hari ini tidak seberuntung senin kemarin ya..?” kembali rasa tidak ikhlas itu mendatangiku. “ atau mungkin karena hari ini hari kamis jadinya saya sial lagi” aku semakin tidak ikhlas. Ini gara-gara kamis lalu saya tidak bisa makan geratis dikantin, padahal makan gratis termasuk dalam salah satu daftar doaku setiap hari mau berangkat sekolah.” Hari kamis, ya pasti ini gara-gara hari kamis”. kamis lalu naas juga menimpaku, waktu Dinar ulang tahun yang dirayakan di kantin belakang bersama teman-teman, e… saya malah disuruh menghadap. Ya…kamis lalu pas istirahat saya disuruh menghadap keruang kepala sekolah, “menghadap lagi-mengahadap lagi” gerutuku dalam hati. Dan lagi-lagi masih dengan hal yang sama tata tertip.” Bukannya tata tertip itu dibuat untuk dilanggar pak” sanggahku.” Apa kamu bilang? Siapa yang mengajarimu berbicara seperti itu, sok idealis kamu.” Tutur pak kepala sekolah saat itu agak keras kepadaku. “ maaf pak, kata-kata itu saya dengar dari kakakku. Kakak saya itu seorang mahasiswa pak, dan setau saya kakak saya itu suka sekali diskusi, orasi, dan demonstrasi. Dan katanya lagi pak setiap kali dia diskusi pasti dia mengatakan aturan-aturan itu dibuat untuk dilanggar. Contohnya para pejabat membuat aturan untuk tidak korupsi nyata-nyatanya nyolong juga.” Terangku panjang lebar, Pak kepsek mengkerutkan jidatnya yang memang sudah mengkerut. “ tidak pentinggg, e dengar ya apa yang kakakmu itu katakana, semua keliru. Dimana-mana aturan tetap harus dipatuhi, di manapun itu, termasuk di sekolah ini, faham?” emosi pak kepsek semakin meninggi. ” Iya pak”. Aku mulai memalingkan hatiku yang awalnya pura-pura sok tau, ke bertanya-tanya sebenarnya tata tertib yang mana lagi yang saya langgar. “ kamu tau kesalahnmu apa”. Tanya pak kepsek sambil memandangiku. “ sebenarnya saya baru mau bertanya kepada bapak kesalahan saya apa pak”. sok lugu, “coba kamu lihat dandanan kamu sekarang, apa menurutmu itu tidak aneh”. Sambil menunjuk semua benda yang ada ditubuhku. “ oh… maaf pak, bukannya saya berniat untuk melanggar tata tertib”. saya harus berusaha untuk mencari alasan lain supaya bapak kepala sekolah tidak tahu hal yang sebenarnya. “ minggu depan saya akan mengganti semua seragam saya pak”. Dapat uang dari mana ujarku dalam hati. “ok, kalau begitu silahkan tinggalkan tempat ini” sepertinya pak kepala sekolah terlalu percaya kepadaku. “ terimakasih pak” oh…lega, ini yang kutunggu-tunggu, dengan jalan perlahan sembari seolah-olah memperbaiki pakaian saya meninggalkan kantor, di belakang terdengar seorang guru menugurku “ kenapa le?”, “ oh tidak apa-apa bu, permisi bu.”

“Uchhhh…. Disepanjang jalan menuju kelas hatiku terus bergumam, mereka tidak tahu saja kondisiku, uang 700 rupiah saja hilang di sakuku gara-gara saku celanaku bolong, apalagi harus mengganti seragam baru.”

 Ada hal yang kusembunyikan sejak aku masih duduk di kelas satu SMA, mereka mengganggap kalau aku kaya raya, padahal…..setiap mengingat klo mereka beranggapan seperti itu hatiku selalu ingin tertawa terbahak-bahak.

Aku melihat sepatuku yang agak butut, warnanya sudah kusam, sepatu sebelah kanan malah sudah nampak lubang di sisi kanan atas, karna sepatuku bahannya dari kain lepys maka sangat jelas helai-helai benang yang tidak beraturan, ya anggap saja itu motif dari sepatunya. Dan supaya tidak kelihatan aneh mau tidak mau yang sebelah kiri saya model sama dengan sepatu yang sebelah kanan. Wah ini betul-betul pekerjaan yang membutuhkan kreatifitas. Terkadan teman-teman mengomentari dandananku, “penampilanmu kock seperti itu…,padahal…”. Cepat-cepat aku sanggah pertanyaan mereka “saya ingin selalu menikmati sesuatu yang aneh, unik, ekonomis, dan menariK”, itu kata-kata sanggahan yang buru-buru kukeluarkan sebagai pembenaran, sebelum mereka bertanya lebih banyak lagi. Meraka hanya bisa membalasnya dengan satu kata “ luar biasa”. Seketika itu saya mengangkat tangan dan bahuku beberapa centimeter, sembari berlalu dari hadapan mereka. Itu masih persoalan sepatu, belum lagi celanaku yang sudah agak cungkring, bagaimana tidak celana itu pemberian dari Sakti, ada tiga celana yang diberikan kepadaku semuanya masih bagus dan baru, tapi karna postur kami yang berbeda jadinya kalau saya memakai itu jadinya ujung bahwahnya sedikit di atas tumit. Jelas saja tinggi badan sakti 160 sedangkan saya 172, eheeem…postur proporsional, kulit sawo matang, tampan boleh jadi mirib morgan….uffffhhh masyaallah percaya diriku semakin hari semakin bagus. Sayangnya saya tidak bisa mengelak jika teman-teman bertanya tentang celana saya, mau tidak mau saya bilang saja.

 “ kalian tahu kenapa celana itu ujungnya harus di atas mata kaki?”
tanyaku balik setiap ada yang bertanya, dan jelas semua hanya menggelengkan kepalanya, bagaimana tidak yang bertanya semua preman sekolah, yang dandanannya asli hancur, di atas besar dibawah kecil, mirip balon udara, kurangnya hanya gas… trus terbang dech!.

 “ karena ketika kita berjalan celana kita itu bisa tetap terjaga dari hadas dan najis, sehingga celana yang kita gunakan tetap suci pada saat kita sholat, faham?”. Jawabku,

sambil berharap dalam hati semoga setelah ini tidak ada lagi pertanyaan lanjutan, kalau ada…mampuslah aku, mau jawab apa aku sementara guru agama baru menjelaskan sampai disitu.
“ oh, sepertinya kamu sudah pantas dipasangkan kopiah dan diantar kemimbar”. Jawab seorang dari mereka.

” Asik… berhasil-berhasil, berhasil oye…”. Sudah selesai, saya menang lagi, mereka kembali percaya kepadaku kalau aku memang hebat. Astagfirullah…

Hari demi hari harus aku lalui dengan penuh basa-basi dan kepura-puraan, dan sepertinya yang kuasa juga merestui apa yang aku lakukan, buktinya sampai sekarang aku masih bisa membuat mereka yakin bahwa aku ini anak orang kaya yang pandai, cerdas, tidak sombong, mudah bergaul, tapi satu yang tidak bisa aku hindari satu sifat yang sampai hari ini tidak bisa menjauh dariku, aku tidak royal keteman-temanku alias “pelit”. Kadang kala kata itu membuat teman-temanku jauh dariku. Bagaimana tidak, tak sekalipun aku merayakan ulang tahun dikantin, boro-boro ulang tahun berkunjung ke bazaar yang diadain kelas aja malas. Sebenarnya bukannya saya pelit tapi mau ambil uang dari mana, uang jajan saja paling banyak 1500 hanya cukup untuk beberapa jajanan. Oh ya… tau tidak selama aku bersekolah tidak sekalipun ibu memberikan aku uang untuk membayar biaya sekolah, hebat bukan. Dari awal saya sudah sepakat dengan diri saya sendiri, kalau peringkat dua besar tidak boleh lepas dari genggamanku. Dan itu aku  buktikan,  sampai detik ini aku masih bisa bersekolah karna beasiswa, nah dari situ teman-teman lagi-lagi menganggapku “hebat”.

Pasti kalian heran, kalau kakakku bisa sampai ke universitas, lho kock malah hidup aku kedengarannya sangat suram dan hampa. Kakak aku itu perjalanannya hampir sama denganku, bedanya dia tidak pernah memungkiri bahwa dia itu dari keluarga yang sangat sederhana, oh bukan sederhana… tapi tidak mampu, emmmmm…sepertinya bukan juga, lebih tepatnya kurang mampu. Kakak anaknya rajin, kritis, sejak SMP kelas 3 dia sudah belajar berorganisasi, setelah dia luluspun langsung diterima disalah satu perguruan tinggi di pulau jawa, itu karna dia menjadi lulusan terbaik di sekolahnya, dan pada saat itu pemerintah punya program untuk menyekolahkan setiap siswa yang menjadi lulusan terbaik secara geratis dari biaya kuliah sampai biaya hidup. Wah pokoknya enak tenang, dan pastinya itu harapan kakak disetiap sujud tahajjudnya. Sekarang dia sudah semester 7, sebentar lagi dia selesai dengan gelar Insinyur. Karakternya memang agak sedikit jauh dari saya, tapi cerdasnya gak jauh-jauh amat.

***

“Kenapa aku jadi curhat begini”. Tegasku dalam hati. “ mampus gara-gara menghayal, aku malah asik duduk di depan kelas. Matilah aku, satu jam pelajaran lewat, untung suara bel itu mengangetkanku, kalau tidak pasti aku tidak masuk kelas dan dinyatakan alfa oleh guru”. Sambil memukul ringan jidatku dan melangkah membuka pintu kelas. “ dari mana kamu mas?” tanya bu Rika. “ tadi dipanggil kepala sekolah bu!” jawabku dengan suara pelan. “ sampai satu jam, wah sepertinya masalahmu sangat berat mas?” tanyanya lagi.” Tidak juga sich bu, pak kepala sekolah hanya menyampaikan pertanyaan, setelah itu syering sedikit” tambahku meyakinka. “ sudah duduk sana”, suara bu rika yang lemut menjadikan aku tambah simpatik kepadanya,” terimakasih bu”. Aku duduk bersebelahan dengan Danar, satu-satunya orang selain sakti yang tau  segalanya tentangku, tapi dia cuek aja. Dia menganggap apa yang aku lakukan sebagai lelucon, ya mirip-mirip lakon overa van java, acting yang belum tau andingnya seperti apa. “kamu kenapa mas?” tanyanya membisik. “biasa nar,  saku celanaku robek” jawabku ngawur. “ ah kamu, masa saku celana robek dipanggil” suaranya makin keras ditelingaku. “ ha..ha..ha, bukan Cuma itu nar, sepetuku juga bolong.” Puaaakkttttddddk….kepalan tangannya mendarat di lenganku. Mimic wajahku tidak karuan menahan sakit, “ ada apa itu?”, bu Rika nampaknya  mendengar jerit hatiku yang lagi kesakitan, emmmm lebay “ kanapa Danar?”. “ oh tidak ada apa-apa bu, kami cuma berdebat mengenai soal nomor sepuluh!”, ich…senyumku maksa sekali. “sudah kerjakan tugasnya, tidak usah berisik ya”. Wajahku menunduk dengan mata mengarah kepada wajah ranumnya, simpatikku kembali hadir untuknya, guru yang sangat mirip dengan wajah nenekku dahulu, upppzzzzt bukan maksud saya wajahnya sangat mirip dengan wajah ibuku.

Tapi ibuku tinggal kenangan, dua hari yang lalu ibu telah meninggalkan kami, dia meninggal akibat penyakit asma akut. Beliau sosok yang sangat istimewa, yang telah melairkan dua anak yang badel, siapa lagi kalau bukan aku dan kakak, tapi dia tidak pernah merasa kecewa. Ibu selalu mengatakan kalau dia selalu bangga memiliki kami berdua, selama hidupnya ibu tidak pernah mengelu, ibu selalu mengingatkan kepada kami “ nak kita bukan orang yang kaya dengan harta, satu-satunya kekayaan kita adalah keiman yang Allah berikan kepada kita, seandainya kalian tidak memiliki itu maka sesungguhnya kalian termasuk orang-orang yang benar-bernar miskin. Kalian boleh saja memiliki satu baju, satu celana, satu alas kaki, rumah tanpa atap, tanpa alas yang kalian tempati untuk berbaring, tapi yakin saja jika wajah kalian yang dihiasi air wuduh, suara jangkrik yang membangunkan kalian sepertiga malam, hati yang selalu tersenyum tanpa rasa gunda, dendam, dengki, itu akan menjadikan kalian lebih kaya dari apa yang kalian bayangkan” jelas. Sangat bijaksana, ibu tidak pernah ingin menjadikan kami tidak berharga dimata sang pencipta, demikian pula dengan aku dan kakak sangat tidak terbersit di pikiran kami untuk meneteskan air matanya. Walaupun pekerjaannya hanya sebagai pembantu rumahtangga dia selalu bangga dengan apa yang dia lakukan. Keluarga Sakti pun telah menganggap kami bagian dari keluarga mereka, setelah kepergian ibu saya masih tinggal di rumah Sakti, sebenarnya aku sendiri lebih memilih pulang dikampung ketimbang tinggal dirumah itu, tapi orang tua sakti tidak mengizinka saya meningalkan rumah itu. Maklum Sakti anak sat-satunya anak dikeluarga itu, saya seumuran dengan dia, oleh karena itu ayahnya mengharapkan aku untuk tetap tinggal bersama mereka. Anak itu perangainya memang aneh tapi dia tidak autis, buktinya dia diterima disekolah negri bersama dengan aku, tapi kita beda kelas kalau dia sekarang kelas 2 IPS3, karena tahun kemarin dia tidak naik kelas, sementara aku kelas 3 IPA1 kelas terpaforid disekolah kami, maaf kalau saya agak narsis. Mungkin karena saya pintar jadi ayahnya menyuruh saya tetap tinggal dirumahnya sambil mengajari anaknya, paling tidak setelah lulus ujian. Memang orang tua sakti sangat baik kepada saya, sampai-sampai mereka menganggap aku seperti keluarganya sendiri, sama dengan apa yang dipikirkan teman dan guru-guruku, tapi walau demikian aku tidak pernah mengganggap diriku sebagai orang kaya sama dengan apa yang mereka pikirkan, aku masih tetap anak bu Saoda seorang pembantu rumah tangga yang mewarisi pekerjaan yang sama. Begitulah…aku seorang pembantu rumah tangga yang kesekolah naik jazz, alias numpang dengan majikan. Aku juga tidak pernah menuntut gaji dari kedua orang tua Sakti, karna bagi aku diberi tumpangan tidur dikasur yang empuk, makan geratis sudah cukup. “ingat walaupun ibumu sudah tidak ada lagi, bukan berarti kamu sendiri. Kamu masih punya kakak dan kami Mas” jelas pak Herman ayah Sakti menasehatiku, saat itu aku hanya terdiam sesekali menghela nafas menahan air mata, sambil mencoba menikmati makanan yang enggan masuk ketenggorokan . “ iya pak, terimakasih” sembari menahan nafas yang terasa semakin berat. “Ibu adalah motivasiku untuk tetap bertahan dan maju pak, insya Allah semua cita-citanya akan aku wujudkan” tegasku kembali kepada mereka. “ kamu tidak mau mencari ayahmu?” pertanyaan yang tidak ingin aku dengar, “ untuk sementara tidak pak, mungkin suatu saat” aku tidak bisa melanjutkan pembicaaran. “ ya sudah habiskan makananmu, kemudian isterahat”. Anggukan kepalaku sebagai isyarat bahwa aku setuju dengan pak Herman.

Kriiiinggggg… bunyi bel menyentakku, masyaallah lagi-lagi aku menghayal. “ tugasnya silahkan dikumpulkan.”
 “Ampun empat nomor tugasku tidak selesai, bagaimana ini” hatiku menggerutu lagi.
“ kumpul yuck mas” ajak Danar.
 bibirku agak sedikit kumiringkan sebagai jawaban untuk ajakannya.
“ ayo kumpul” paksanya.
 “ duluan aja, tugasku nanti menyusul”. Gayaku rada-rada malas. Aku melihat sekelilingku semua telah menyelesaikan tugas, mereka berkemas-kemas.
“oh sudah waktunya pulang” tanyaku dengan pura-pura.
“ ia mas” jawab temanku.
“ Masdar…Masdar, bangun woi.. dari tadi melamu terus”. Hem.. senyum manisku mengitari wawajahku yang merona.

Hari ini otakku penuh dengan hayalan, mungkin gara-gara aku tidak pernah jujur tentang hiduku. Dan hari ini kuputuskan, besok saya harus menjelaskan kepada semua orang tentang siapa diriku sebenarnya, agar mereka tidak lagi menganggapku hebat, luar biasa dan apalah yang berhunngan dengan kata-kata itu. Kata yang setengah mati membuatku menahan rasa geer, dan lebay, alay, kamseupai. Ya allaaaaaaaaaaaaaaaaah, ampun… ingin rasanya aku ke pinggair laut berteriak dan…pecahkan saja gelasnya, uuuufffff aneh. Tapi kata apa yang harus menjadi pembuka untuk kejujuranku, rasa-rasanya aku tidak bisa merangkai kata untuk menggungkap semua ini. Besok…ya besok.

Sampai hari itu tiba, di depan kelas aku memberanikan diri. Pada saat pelajaran bahasa Indonesia, kebetulan hari itu materinya tentang teknik menulis karya sastra, ini kesempatan. Bu Sati memaparkan penjelasan tentang teknik menulis karya sastra (cerpen) dengan baik. “setelah ini kalian silahkan menuli cerpen sesuai dengan apa yang telah ibu terangkan tadi”.
“ Bisa gak bu kalau cerpennya dari pengalaman pribadi kita sendiri”
“ Tentu boleh Zaki”
“ Bu ceritanya dikumpul hari ini juga?”
“ Ya, hari ini juga kalian harus kumpul, memang crita kamu sudah selesai Ci’?”
“ Belum bu”
Teman-temanku ini banyak Tanya banget sich. “ oh ya, setelah kalian menulis ceritanya, minggu depan kalian juga harus membacakan cerita yang sudah kalian tulis”.
“ Ok bu.”
“ Mas, semangat sekali. Ibu yakin tulisanmu pasti bagus.”

Senyumku lebar sekali, aku tidak sabar menunggu sampai minggu depan, dimana semua cerita hidupku akan ku beberkan.

Hari itupun tiba, orang yang pertama mengajukan diri untuk membaca cerita di depan kelas adalah aku, tanpa meminta temanku untuk merekomendasikan diriku sebagai orang pertama yang bercerita. Ini atas dasar inisiatif saya sendiri, karna aku yakin kali ini pasti aku berhasil lagi. Seperti biasa tinkat ke percayaan diriku bangkit seketika, membaca cerita bagiku adalah hal yang biasa. Waktunyapun telah tiba, aku bercerita panjang lebar tanpa selembar kertas pun di tanganku. Mulai dari a sampai z tentang kehidupanku semua telah kubeberkan. Dari dalam kelas sedetik kupalingkan wajahku kearah jendela, di luar nampak mendung gelap sekali, dan sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Perkiraanku kali ini benar lagi…tapi kata luar biasa tidak lagi kudengar dari teman-teman, aku pikir mereka sudah bosan dengan kata itu setelah tadi aku bercerita. Namun perkiraanku kali ini keliru, ternyata teman-teman tidak bertepuk tangan dan berteriak luar biasa karna semua yang ku sampaikan tadi terjadi di dalam hatiku, makanya mereka tidak mendengar, hahaha…!. Mimpi lagi.

“Bu Sati, kenapa hari ini ibu tidak masuk! Kalau begini caranya kapan saya bisa terbuka tentang semua kepalsuan ini. Sementara saya sudah tak sanggup menahan gejolak emosi yang semakin dalam bergelayut dan membengkak. Hanya kesempatan ini yang bisa kumamfaatkan. Aku ingin menutup cerita kelam ini dengan sebuah kejujuran yang nyata, huuuufffff. Tiga bulan lagi kita semua anak kelas III akan ujian nasional, setelah itu pasti kita akan lulus semua, setelah itu kita berpisah dech. Terus kalau aku tidak menyampaikan yang sebenarnya, bagaimana? Apa selamanya saya harus menanggung dosa karena telah berbohong. Sebenarnya ini bukan kehendak hati saya untuk berbohong. Ini hanya sekedar kebetulan saja, tapi saya tidak ingin mereka tetap berpikir kalau saya adalah orang kaya, lebih baik mereka mengetahui yang sesungguhnya kalau aku hanya seorang pembantu. Tapi kapan? Ya Allah tolonglah aku, satu-satunya yang bisa menolongku hanya engkau ya Allah. Tapi nyatanya sampai hari ini Engkau masih menginginkan aku untuk dikenal sebagai pribadi yang luar biasa. Naaahhhh kalau begitu ini bukan salahku lagi ya Allah. Trusss salah siapa? (awas berdosa).”

Aku galau, alias gagal la ya u, maksa banget aku buat kesimpulan. Memang menurut kalian galau itu hanya punya satu arti, ga’ kan… ya sekreatif-kretifnya kita aja. Sama seperti aku sekarang… jadi hatinya jangan ngomel dech. Sory frend kalian harus terlibat dalam emosi ini, aku yang jengkel karena ibu Sati ga’ masuk hari ini. Sementara kalian jengkel dengan beberapa kalimat yang tidak kalian pahami maksudnya apa. Bukan begitu?

Ya sudahlah aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini, lagipula Danar sudah bilang ke aku, kalau aku seharusnya bersikap biasa saja. Kalaupun nanti mereka tahu, terserah mereka mau bertindak apa setelah itu. Perkataan Danar hampir sama dengan apa yang dikatakan abangku, menurutnya apapun yang terjadi itu bukan sepenuhnya kesalahan aku. Kalau mereka beranggapan kamu  ini hebat ya itu berarti mereka melihat bahwa kamu ini memang hebat. Seandainya saja kamu di sekolah hanya sekedar membaga-banggakan dirimu dengan harta, itu berarti kamu yang salah, tapi kan tidak selama ini mereka menganggapmu hebat karena kamu bisa memperlihatkan kepada mereka, kamu bukan hanya bisa di antar pake mobil dengan merek jazz, avanza, vortuner dan sebagainya. Tapi karena kamu bisa memperlihatkan kalau kamu bisa menjadi peringkat pertama selama tiga tahun berturut-turut. Nah kalau yang ini bukan mimpi lagi saya memang cerdas dan pintar lho ya, jadi juara kelas selama tiga tahun berturut-turut, peringkat satu lagi. Subehanallah sesungguhnya kesombongan itu hanya milik Allah, saya hanya pinjam sebentar.

Tapi tiga bulan masih lama, baiklah aku tidak apa-apa kalau hari ini aku belum bisa jujur, saya akan menunggu sampai waktu yang telah ditentukan Allah, semua aku kembalikan kepadanya, mungkin saja nanti setelah kami penamatan atau setelah aku menikah dengan seorang gadis mereka datang kemudian menyaksikan kondisi tempat tinggalku saat itu, bisa jadi. Tapi... gak ahhh aku tidak mau, setelah menikahkan aku harusnya sudah menjadi direktur perusahaan, insya Allah saya sudah beli rumah dan tinggal bersama istri dan mama, insyaallah klo mama masih diberi umur panjang,  asal kalian tahu cita-citaku ingin menjadi direktur sebuah perusahaan bukan PNS lho ya, eemmmm..., tidak usah tanya mengapa saya tidak mau jadi PNS, nanti kalau saya jawab takutnya dicekal, iya kan?. Dan sekarang saya telah memutuskan kalau malam ini cukup, sudah larut malam, sudah waktunya tidur dari tapi otakku mutar-mutar, mulutku bicara sendiri kemudian yang jawab hatiku juga. Ok mari tidur, assalamu alaikum, bismika allahu maahya wa amut.
ending

Satria R

Baca juga cerpen lainnya.