BULAN SEPARUH
Sepulang dari pendakian, dia langsung
meneleponku. dia menyuruhku untuk menjemputnya, sebenarnya aku enggan, malas
dan tak ingin melihat wajahnya yang kecapean, apalagi matanya yang selalu disayu-sayukan kalau dia sudah sangat letih.
Sifat manjanya selalu saja membuatku ilfeel.
Belum lagi kalau dia meminta untuk dikeloni. Selalu saja seperti itu, hobinya itu sangat tidak sejalan dengan pikiranku, mengapa juga dia harus memanjat gunung, apa manfaatnya?, lagian kalau hanya untuk mencari suasana baru, mengapa dia tidak kepantai atau kepuncak yang udaranya lebih sejuk. Mengapa harus pilih gunung yang tingginya berkilo-kilo meter, yang jalannya tidak rata, yang nyamuknya sebesar lalat, yang lampunya hanya seterang rembulan, untung kalau bulannya penuh, kalau hanya separuh, bagaimana?. Atau kalau tiba-tiba waktu itu mendung. Belum lagi kalau kehabisan bekal, trus mau makan apa?, aneh kan?, dan setiap kali naik atau turun gunung aku juga yang selalu dibuatnya pusing.
Sebelum berangkat harus packing dulu, semua kebutuhannya aku yang harus siapkan mulai dari pakaian, sepatu, bekal, kompor, sampai sikat gigi dan deodoran. Lebih-lebih kalau dia sudah turun gunung, aku harus mempersiapkan fisik dan telinga, maksudnya saya harus siap melayani semua perintahnya dan juga harus siap menjadi pendengar yang baik dari semua kisah-kisah pendakiannya, bagiku ini hal yang membosankan, mendengar cerita yang notabene sesuatu yang tidak aku sukai. Tapi aku harus melakukannya, karna kalau tidak, dia akan membiarkanku dan tidak menegurku selama berhari-hari, jahatkan. Itulah dia. Lelaki ini sangat pendendam, egois dan mau menang sendiri. Kalian pasti berfikir, terus mengapa aku mau menjadi pacarnya. Asal kalian tahu dibalik sikapnya yang angkuh, dia laki-laki yang setia. Bagiku hari ini cinta hanya membutuhkan kesetiannya, wajah dan harta urusan selanjutnya. Laki-laki tampan banyak berhamburan diluar sana, bukan hanya itu mereka juga bermodalkan Moge atau alfart. Tapi semua itu hanya kedok, paling setelah dipacari, dengan seribu alasan dia akan pergi, tapi beda dengan kekasihku, setelah tujuh tahun kami menjalin hubungan toh dia masih setia. Tapi tidak denganku, aku sudah menyerah.
Belum lagi kalau dia meminta untuk dikeloni. Selalu saja seperti itu, hobinya itu sangat tidak sejalan dengan pikiranku, mengapa juga dia harus memanjat gunung, apa manfaatnya?, lagian kalau hanya untuk mencari suasana baru, mengapa dia tidak kepantai atau kepuncak yang udaranya lebih sejuk. Mengapa harus pilih gunung yang tingginya berkilo-kilo meter, yang jalannya tidak rata, yang nyamuknya sebesar lalat, yang lampunya hanya seterang rembulan, untung kalau bulannya penuh, kalau hanya separuh, bagaimana?. Atau kalau tiba-tiba waktu itu mendung. Belum lagi kalau kehabisan bekal, trus mau makan apa?, aneh kan?, dan setiap kali naik atau turun gunung aku juga yang selalu dibuatnya pusing.
Sebelum berangkat harus packing dulu, semua kebutuhannya aku yang harus siapkan mulai dari pakaian, sepatu, bekal, kompor, sampai sikat gigi dan deodoran. Lebih-lebih kalau dia sudah turun gunung, aku harus mempersiapkan fisik dan telinga, maksudnya saya harus siap melayani semua perintahnya dan juga harus siap menjadi pendengar yang baik dari semua kisah-kisah pendakiannya, bagiku ini hal yang membosankan, mendengar cerita yang notabene sesuatu yang tidak aku sukai. Tapi aku harus melakukannya, karna kalau tidak, dia akan membiarkanku dan tidak menegurku selama berhari-hari, jahatkan. Itulah dia. Lelaki ini sangat pendendam, egois dan mau menang sendiri. Kalian pasti berfikir, terus mengapa aku mau menjadi pacarnya. Asal kalian tahu dibalik sikapnya yang angkuh, dia laki-laki yang setia. Bagiku hari ini cinta hanya membutuhkan kesetiannya, wajah dan harta urusan selanjutnya. Laki-laki tampan banyak berhamburan diluar sana, bukan hanya itu mereka juga bermodalkan Moge atau alfart. Tapi semua itu hanya kedok, paling setelah dipacari, dengan seribu alasan dia akan pergi, tapi beda dengan kekasihku, setelah tujuh tahun kami menjalin hubungan toh dia masih setia. Tapi tidak denganku, aku sudah menyerah.
Suatu hari aku berniat memutuskan
hubunganku dengan dia, gara-gara aku bosan dengan hobinya, bukan itu saja aku
juga sudah bosan pacaran dengan dia, tujuh tahun bagiku bukan waktu yang
singkat untuk menjalin hubungan dan saling memahami satu sama lain. Rasanya
cinta kami sudah tidak berasal dari hati masing-masing, tapi hanya karena
saling menjaga perasaan dan takut jangan-jangan kalau kami putus satu sama lain
akan menyimpan dendam, yang ada nanti bertindakan anarki dan
bodoh. Ya mungkin demikian, sehingga
kami masih bertahan menjalin hubungan hingga hari ini. cukup menikmati itu
prinsipku, mau apa lagi tatapannya sudah hambar, walaupun
sentuhan dan perhatiannya masih sama. Aku sich percaya, dia tidak akan sakit
hati ketika kami putus, takutnya aku yang malah tersiksa ketika kami berpisah.
Sebenarnya aku menikmati cintanya hanya ketika kami pacaran dua tahun yang
lalu, lima tahun terakhir aku sudah tidak lagi merasakan apa-apa, selain takut.
Aku yakin apa yang kami lakukan semua atas nama cinta, saling membutuhkan dan
saling menguntungkan satu sama lain. Kemarin dia sempat mengatakan kepadaku
kalau dia sangat mencintaiku, ucapan terimakasihnya bertubi-tubi sambil
merangkulku dengan erat.
Kubalas dengan rangkulan yang erat pula, aku selalu kalah dengan rangkulan dan ucapan itu. Mungkin aku terlalu sensitif dengan kata terimakasih, bagiku kata itu sudah tidak asing, dan selalu membuat kami menyatu kembali, walaupun pertengkarang kami sampai mengeluarkan semburan asap ditelinga. Kata terimakasih baginya adalah kata pamungkas, dia pernah bertanya kepadaku mengapa aku menyukai kata-kata itu , mengapa bukan kata aku mencintaimu, imiss u, sayang dan kata romantis lainnya. Tegas aku jawab kata romantis itu tidak perlu engkau ucapkan, cukup engkau lakukan, karna bagiku romantis itu bukan karna engkau sering mengeluarkan kata cinta tapi karna engkau selalu menunjukkannya dengan perbuatan. Asal kamu tau ketika kau berterimakasih, pada saat itu kamu menunjukkan kepadaku betapa kamu sangat membutuhkanku, bukan itu saja ucapan terimakasihmu menunjukkan bahwa kau sangat menghargaiku sehingga setiap saat kata itu harus kau lontarkan, seketika dia memengang kepala dan mengelus rambutku. Hal itu yang membuatnya enggan meninggalkanku, menurutnya aku perempuan yang pandai, bijaksana, dan sangat menyenangkan.
Kubalas dengan rangkulan yang erat pula, aku selalu kalah dengan rangkulan dan ucapan itu. Mungkin aku terlalu sensitif dengan kata terimakasih, bagiku kata itu sudah tidak asing, dan selalu membuat kami menyatu kembali, walaupun pertengkarang kami sampai mengeluarkan semburan asap ditelinga. Kata terimakasih baginya adalah kata pamungkas, dia pernah bertanya kepadaku mengapa aku menyukai kata-kata itu , mengapa bukan kata aku mencintaimu, imiss u, sayang dan kata romantis lainnya. Tegas aku jawab kata romantis itu tidak perlu engkau ucapkan, cukup engkau lakukan, karna bagiku romantis itu bukan karna engkau sering mengeluarkan kata cinta tapi karna engkau selalu menunjukkannya dengan perbuatan. Asal kamu tau ketika kau berterimakasih, pada saat itu kamu menunjukkan kepadaku betapa kamu sangat membutuhkanku, bukan itu saja ucapan terimakasihmu menunjukkan bahwa kau sangat menghargaiku sehingga setiap saat kata itu harus kau lontarkan, seketika dia memengang kepala dan mengelus rambutku. Hal itu yang membuatnya enggan meninggalkanku, menurutnya aku perempuan yang pandai, bijaksana, dan sangat menyenangkan.
Sekarang aku mulai bingung, minggu
lalu orang tuaku bertanya kapan aku dinikahi oleh Dan, katanya tetangga mulai risih melihat
kami selalu jalan berdua. Orang tuaku juga mulai risih, takut aku jadi bahan fitnah
dikeluargaku sendiri. Aku hanya bisa diam, bagaimana aku harus menjawabnya
sementara Dan masih kuliah, semester 9, bekerjapun tidak. Apa mungkin aku yang
harus membiayai hidupnya ketika kami nanti menikah. Sementara gajiku hanya
cukup menutupi kebutuhanku sendiri, biaya bensin, makeup, pembalut, salon, dan
lainnya. Lantas apa yang harus aku lakukan, aku tidak mau menikah atas dasar
cinta semata, aku tidak mau hidup menderita dengan Dan, dia memang kekasih yang
baik untuk hal kasih
sayang, tapi tidak dengan persoalan ekonomi. Aku tidak mau hidup di tong yang isinya sampah, lebih baik saya
hidup sendiri mengais sisa-sisa dari orang lain daripada harus memakan hasil
buangan dari orang lain. Semakin hari
semaki aku merasa kebingungan dengan kondisiku sendiri. Bingung antara harus
memeprtahankan cinta atau membentuk kehidupan baru dengan orang yang tidak
mengenalku.
“Dan aku sangat mencintaimu, aku rindu
dengan semua yang telah kita lakukan.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat menjalin hubungan dengannya. Aku rindu
dengan sapaan sayangmu, aku rindu rangkulanmu, aku bangga pernah bersamamu.
Tapi itu dulu sekarang aku harus mengubur dalam-dalam semua keinginanku untuk
bersamamu. Maafkan aku Dan aku bukan pelacurmu lagi. Aku harap engkau tidak
kecewa kepadaku, oh ya Dan semua kisah yang pernah kita lalui cukup menjadikan
kita dewasa untuk memilih kehidupan kita masing-masing. Aku tidak akan lupa
berapa sperma yang telah engkau buang untukku, aku juga tidak akan lupa berapa
lipstik yang aku habiskan untukmu. Semua
kata mesra yang telah engkau katakan akan kurangkai dalam hatiku. Dan kamu lelaki
yang baik, aku yakin kamu akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku.
Jangan menangis, aku bukan perempuan yang terbaik untukmu. Aku tidak bisa
menjadi perempuan yang
layak bagimu, aku malu, sangat malu. Aku tidak akan mendapat lelaki sepertimu
lagi, Dan kemarin aku tidak membalas pesanmu karena aku takut kamu akan
menangih janjiku, asalkan kamu tahu aku bukan pecundang seperti yang engkau
sangkakan kepadaku, aku Cuma tidak bisa menemani hidupmu, sebenarnya aku juga
ingin bersamamu menyimpan satu spermamu, dan berharap bisa
menjadi benih yang dilahirkan dari rahimku, membesarkannya bersama dan
memberinya ilmu, kelak dia akan menjadi orang yang mampu mengimbangi kebodohan
kita berdua. Tapi Dan aku tidak mungkin hidup denganmu, jangan tanya mengapa,
karna aku enggan menjawab pertanyaan yang kau lontarkan lebih dari lima kali,
aku malas menjawab pertanyaan yang sudah aku jawab. Dan I love U.”
Aku menulis massenger di facebook
miliknya. Balasannya cukup rumit aku mengerti “ aku mungkin sampah, tapi kamu
lebih sampah sayang. Bagaimana kamu bisa melupakan aku, kekasihmu?. Bagaimana
kamu bisa hidup dengan orang yang tidak kamu kenal, apa kamu yakin dan siap
untuk meninggalkanku. Sayang kamu lupa kemarin aku telah menuang benih putih di
rahimmu, tanpa sengaja sedikit tertinggal. Maaf ya sayang. Sebenarnya aku sich
biasa-biasa saja jika kamu mau meninggalkan aku, tapi yang aku pikirkan apa
masih ada yang menginginkanmu. Bulan purnama saja yang bentuknya utuh belum
tentu orang mau melihatnya setiap saat, apalagi bulan yang tinggal separuh, bulan
sabit tidak selalu menarik untuk
dipandang sayang. Kamu memang masih cantik pelacurku, kamu juga masih cukup
seksi. Tapi apakah kamu tidak merasa malu kepada lelaki baru yang akan
menyetubuhimu? Tidak usah dijawab sayang. Sekarang terserah kamu aku hanya bisa
mendoakanmu, semoga kamu tetap sehat lahir dan jiwanya. Jangan menangis ini
pilihanmu. I love U”
Ini pesan dua hari yang lalu, setelah
seminggu kami tidak berkomunikasi. Air mataku menetes bukan karena aku sedih
telah berpisah dengannya, aku menangis karna aku harus membohongi suamiku
kelak. Berapa lama aku harus membohongi laki-laki baik yang akan menikahiku,
apa aku harus mengatakan kalau aku hanya bulan separuh yang cahayanya masih
bisa menerangi sedikit sisa hidupnya, atau aku harus pura-pura tidak tahu kalau
aku ini pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang selalu menganggapku
pelacurnya. Dan sayangnya aku begitu naif untuk selalu jujur dengan
kehidupanku, kepada siapun, termasuk kepada orang tua, saudara dan sahabatku sendiri. Semua peristiwa bisa kurangkai dan kusimpan baik-baik,
jangan heran aku sangat lihai meramu cerita hidupku. Sampai pada akhirnya
hancur atau tetap fighter itu menjadi perbandingan yang seimbang yang tidak
bisa dibedakan, tak ada yang bisa menyutradarai hidupku kecuali diriku sendiri.
Aku memang hebat, saking hebatnya semua orang disekelilingku selalu beranggapan
kalau aku ini manusia aneh, tak ada
sedihnya. Wajah yang sumringa sering aku tebar untuk menutupi kelemahanku, aku
hanya ingin orang lain tahu kebahagianku bukan kesedihanku, karna bagiku cukup
mereka merasakan kebahagian bersamaku, sementara kesedihan cukup aku yang
rasakan. Sulit bagiku mengajak mereka menyelami kehidupanku yang penuh adegan
acting.
Sekarang siapa yang pantas memilikiku,
oh kalimat yang keliru. Maksud aku, sekarang siapa yang pantas untuk kumiliku.
Apa dengan menyelesaikan adengan percintaanku dengan Dani bisa mengantarkanku menjadi perempuan
yang patut dipertimbangkan untuk dimiliki. Aku tak mengatakan dicintai, karena
bagiku mencintai belum tentu memiliki, tapi memiliki sudah tentu mencintai.
Mungkin saja lelaki yang memilihku kelak bisa mencintaiku, tapi apa ia mau
menerimaku dan memiliku selamanya ketika dia tahu semua kebohongan yang telah
aku lakukan dimasa lalu. Sementara aku yakin ketika lelaki yang memilihku mau
memilikiku untuk selamanya meski dia tahu masa laluku, dia akan tetap bertahan
bersamaku, seperti itu yang aku maksud cinta. Walaupun dalam hati kecilku
sangat sulit untuk menyembunyikan semua yang telah aku lakukan bersama Dan, meskipun aku lihai berbohong.
Aku tidak mau tenggelam dalam rasa bersalah
seumur hidup. Baru kali ini air mataku mengalir tak terhingga, deras disetiap
seperdua malam. sudah empat hari aku tertunduk kaku di atas sajadah yang menyaksikan kebodohanku. Hanya sajadah yang menjadi bagian ceritaku kali
ini, kalau saja sajadah itu bisa bicara,
mungkin dia akan mengatakan “sudahlah tak ada kesalahan yang tidak bisa
diperbaiki, semua kesalahan selalu berakhir dengan penyesalan, setiap
penyesalan akan terobati jika kamu bisa melupan dan tak mengulanginya lagi”
kata-kata itu yang ingin ku dengar, tapi bagaimana jika sajadah itu mengatakan “perempuan bodoh
sepertimu, seharusnya tidak berada ditempat ini. tempatmu di tong sampah
bersama kotorang, diinjak atau segera dibakar”. Oh my god, aku hanya ingin
menyelamatkan hidupku, aku bukan pelacur. Aku perempuan berpendidikan tinggi
yang mengenal dan tahu makna cinta dari seoarng lelaki dengan kadar nafsu yang
tak terhingga. Aku melakukannya juga bukan karena niat, tapi kesempatan yang
selalu mempertemukan kami. Aku cantik, baik hati, suppel, menyenangkan,
populer, berpendidikan. Apa salah perempuan baik-baik melakukan kesalahan,
tidak kan?.