Mengubur Cinta

Cerpen Mengubur Cinta

Part 1
          Sebenarnya aku tidak pernah menyukainya, tapi apa boleh buat aku harus mengalah demi kebahagiaan papa. Ya, sebagai seorang anak menuruti kehendak orang tua adalah satu cara untuk mendapat kebahagian. Sebentar lagi hari itu akan tiba undangan telah beredar sekitar dua mingu yang lalu, tenda dan pelaminannya sudah disewa, konsumsi, dan gaun pengantin semua sudah disiapkan. Dua hari lagi sebuah acara pernikahan yang megah akan digelar di rumah kami, tapi mengapa sampai hari ini aku masih merasa tidak nyaman, mungkin karena aku merasa dia bukan pilih yang tepat untuk menemani hari-hari kami di rumah nanti. Aku  sudah sering kali mengatakan kepada papa kalau aku tidak pernah setuju dengan pernikahan ini, tapi papa sangat memohon kepadaku supaya aku bisa menerima dia dengan penuh keikhlasan. Akupun belum begitu mengerti apa sih yang sebenarnya papa inginkan dariku, lihat orangnya saja belum pernah, apalagi tahu karakternya. Bagaimana klo dia seseorang yang kejam, suka memukul, atau paling tidak cuek, tidak mau tau keadaan keluarga, sementara kehidupan kelurga kami sekarang ini sedang dirundung banyak masalah. “uuuuchhhhh…, mengapa aku jadi sikopat begini” ujarku dalam hati. Beberapa hari terakhir ini aku tidak pernah berhenti berdzikir untuk menghalau semua kegundahan dan ketakutanku. Satu-satuya harapanku hanya kepadanya, semoga apa yang aku takutkan tidak terjadi, bagiku ini pengalaman terburuk dalam hidupku. 

         Pernikahan itu butuh cinta, bukan semata-mata melepaskan tanggung jawab sebagai orang tua. Pernikahan pula mengharuskan kita untuk saling menutupi kekurangan satu sama lain. Dari pernikahan akan menghasilkan kebahagian, bukan penderitaan. Aku butuh figur yang nantinya bisa menggantikan posisi papa, itu harapan saya. Sosok lelaki tangguh, lelaki yang sama dengan permintaanku selama ini. Setiap aku selesai sholat pasti aku titip doa itu, aku selalu memohon kepadanya ‘ya allah karuniakanlah kepadaku imam yang akhlaknya, baik imannya, baik takwanya, baik sholatnya, baik bacaan al qurannya, baik ilmunya, baik hartanya, dan baik rupanya’, memang benar sesungguhnya tidak ada yang sempurna di muka bumi ini, tapi alangkah munafiknya diri ini jika perempuan sepertiku tidak mendambakan lelaki seperti yang kusebut dalam doaku. Bukannya berlebihan, tapi sungguh setiap perempuan mendambakan lelaki yang bisa mengimani lahir batinya, bukan sekedar bisa dinafkahi dan menikmati indahnya setiap malam bersama hangat pelukannya, tapi banyak hal yang perlu dertimbangkan, termasuk dia bisa menerima kondisi sosial, ekonomi, bahkan pribadi dari pasangannya kelak.

         Aku teringat dengan sahabatku Rana, minggu lalu dia mengunjungiku. Dia datang karena tahu aku akan menikah dengan seorang laki-laki pilihan papa, Rana sempat bercerita tentang kehidupan rumah tangganya. Rana anak politisi hebat yang menikah sekitar 5 bulan lalu. Aku sempat hadir dipernikahannnya, dia nmpak bagia sekali, wajahnya penuh dengan binar. Begitu pula dengan Hery, pria mapan dengan penghasilan yang luar biasa. Malam itu mereka nampak sangat bahagia dengan pernikahannya, bagaimana tidak mereka pacaran diluar batas, padahal pada saat itu Rana masih duduk dibangku SMA, sama denganku kelas XI, oh sungguh miris bagiku, tapi tidak bagi Rana, karna setelah dia menikah sekolahnya dia lanjut dengan mengikuti home schooling. Dia nampak biasa-biasa saja dengan keadaan seperti itu. Beberapa hari berlalu mereka terlihat nampak menikmati hubungan mereka. Yang pastinya tidak ada kata-kata negatif yang terlontar dari bibir mereka, sebisa mungkin Rana dan Hery menikmati kebersamaannya, tanpa memamerkan kejelekan satu sama lain. Namun, minggu keminggu konflik mulai bermunculan, semua terjadi dari peristiwa-peristiwa sepele. Sampai akhirnya keburukan mereka terbuka pelan-pelan. Mereka saling mengumbar kejelakan, Rana tidak menerima jika Hery melakukan kesalahan, demikian pula sebaliknya. Mereka tidak bisa menerima perbedaan itu, masalah semikin timbul dihari-hari berikutnya, dan sampailah mereka pada ambang ego, Rana dan Hery memutuskan untuk berpisah. 

         Oh Tuhan, aku sama sekali tidak pernah menginginkan cerita cinta yang sama seperti mereka berdua. Hubungan singkat mereka diakibatkan satu sama lain tidak saling mengenal,  yang tejadi tiba-tiba saja mereka menikah, tampa ada penjajakan terlebih dahulu atau tanpa pacaran. Aku mengerti dalam agama tak ada istilah pacaran, sampai sekarangpun aku menghindarinya. Tapi alangkah bijaksananya jika kita mengenal calon pasangan kita tidak hanya dalan hitungan detik, hari, atau minggu, melainkan mengenalnya dalam proses yang cukup panjang, sehingga kita betul-betul tahu bobot bebetnya, kalau seperti itu mustahil jika salah satu diantara mereka masih menyimpan ragu. Dan itu yang ingin aku lakukan mengenal sosok pendamping hidupku bukan hanya dalam waktu yang singkat. 

         Sebenarnya papa sudah menjelaskan panjang lebar perihal lelaki pilihannya, papa juga sudah menyuruh Fian sepupuku untuk mengupas tuntas masalah pribada calonku itu. Fian juga yakin dengan pilihan papa itu, panjang lebar Fian bercerita di depan kami semua tentang sosoknya, laki-laki pilihan papa, dan pada saat itu semua terkesima dengan penggambaran sang tokoh, calon menantu papa, sepupuku yang satu ini memeng seorang pengarang yang hebat. Dia mampu meyakinkan semua keluargaku tentang Gusti tanpa cela sedikitpun, terkecuali aku. Hal ini papa lakukan untuk meyakinkan putrinya, dia tahu aku enggan untuk pacaran, bukan kenapa aku sangat memelihara diriku dari fitna, terlebih lagi penampilanku yang mengenakan hijab. Itu makanya papa mengambil jalan untuk bertaaruf saja sama dengan apa yang aku inginkan, walaupun dalam hatiku sedikit geli, papa begitu mengutip perjalanan cinta St.Khadijah yang menginginkan Muhammad pada saat itu, tapi bagiku ini sangat berbeda, ceritanya papa menjodohkanku dengan lelaki yang tidak terkenal dan tidak aku kenal, bertolak belakang dengan kisah St.Khadijah pada saat itu.

         Aku semakin gundah, sholat yang aku jadikan sebagai satu-satunya jalan untuk menghilangkan kegelisahanku juga belom memberiku jawaban hingga saat ini. Atau mungkin jawabannya sudah ada namun sangat tersirat. Apakah dia jodohku yang sesungguhnya?, trus bagaimana dengan cinta sejatiku?, cinta yang aku persembahkan untuk lelaki yang tidak pernah tau perasaanku. Bodohnya aku tuhan, mengapa tak dari dulu aku mengatakan kepadanya perasaanku yang sesungguhnya, aku terlalu munafik. Memendam perasaan yang akhirnya menikamku sendiri, menusuk dan akhirnya mematikan setiap debar jangtungku. Sungguh aku tak pernah berdaya jika harus menyelesaikan persoalan perasaan. 

           Sementara itu seisi rumah ini menikmati kebahagiaan perayaan pesta, termasuk papa. Aku melihat raut wajahnya yang penuh dengan gairah kebahagiaan, meski sesekali menatapku dengan penuh pertanyaan dan sangkaan. Aku yakin dalam hati papa mengerti perasaanku saat ini, meski beliau enggan untuk mengutarakannya, keyakinan papa dengan lelaki pilihannya itu sudah sangat besar. Papa sangat menaruh harapan besar kepada calon menantunya itu, menurut papa pilihannya itu akan membawaku kepada kebahagian yang abadi, itu pendapat papa. Mungkin saja saat ini aku terlihat bodoh dan pura-pura lugu, tapi itulah kejadiannya. Jika  ada yang bertanya mengapa aku tidak menyanggah pendapat papaku itu, mengapa aku menuruti papaku sedangkan hatiku berkata lain, mengapa aku sampai hati mengorbankan perasaanku hanya untuk kebahagian papa, dan mengapa, mengapa, mengapa?. Hal intu sudah pernah aku coba, aku pernah memberanikan diriku untuk membantah keinginnya menikahkanku dengan lelaki yang tidak aku kenal, lelaki yang meminangku secara tiba-tiba, yang aku sendiri tidak tahu pinangan itu terjadinya kapan. Tapi papah dengan lantang dan tegas mengatakan “jikalau kamu menyetujui permintaan papamu ini, maka engkau tak akan pernah lagi melihat papa menderita”, coba bayangkan hati anak yang mana yang tidak tersentak mendengar orang yang disayanginya berkata demikian, apalagi aku. Bagaimana mungkin aku menahan egoku untuk kepentingan diriku sendiri dan mengorbankan perasaan papa. Apalagi papa selaku orang tua tunggal sekarang, setelah mama meninggal dunia akibat penyakit kanker payudara, mama diusianya yang ke empat puluh dua tahun harus meninggalkan kami, sejak saat itu papalah yang bertanggungjawab terhadap aku dan Naya adikku. Sebenarnya tindakan papa ini ada benarnya, dia tidak mau melihat anaknya terlunta-lunta tidak jelas, makanya beliau berinisiatif untuk menikahkanku, sejak papa terserang strock beliau sudah tak lagi mampu membiayai kebutuhan kami seperti dulu lagi, papa sudah tak lagi bekerja. Perusahaan memberhentikan papa dari pekerjaannya, dengan pesangon yang hanya cukup untuk membuka warung kelontong seadaanya di samping rumah bekas garasi kemarin.

           Sementara aku masih punya Naya, adik manjaku yang masih duduk di kelas enam SD,  dia masih butuh biaya yang banyak untuk menyelesaikan pendidikannya, terlebih lagi dia pernah mengatakan kepada papa kalau dia ingin menjadi seorang polwan, cita-cita yang dengan sangat bangga dia katakan kepada papa dan aku. Papaku pun meresponnya dengan sangat bangga, mengapa Naya ingin menjadi polwan, papa tak pernah mau mencari tahu jawabannya. Aku hanya bisa memberinya support “jika kamu ingin menjadi polwan, mintalah kepada Allah. Karna apapun kehendak manusia, jika dia meminta kepada pemilik kekuasaan terbesar, maka permintaannya itu tak akan disia-siakan sampai dia mendapatkannya. Dan satu lagi berusahalah karna Allah tidak pula akan menyia-nyiakan keinginan hambanya yang berusaha”. Hanya itu yang bisa aku titipkan kepada adikku, selebihnya tuhan yang akan merealisasikan keinginannya itu. Karna setahu saya untuk menjadi seorang polisi cukup berat syaratnya, bukan hanya tes yang harus dilalui tapi untuk menjadi seorang polisi butuh dana yang cukup besar, itu yang terjadi di kota kami, aku tak tahu  di tempat lain. Setiap kali Naya mendengar kata-kataku itu pasti dia menundukkan kepalanya, dia tidak pernah membantahku. Dia memang sosok adik yang baik, dia juga mengerti kondisi kami yang sekarang ini, namun dia belum bisa menafikan keinginannya yang telah dicita-citakan sejak dulu. Meski sesekali dia berucap selayaknya orang dewasa, sok menguruiku dengan mengatakan “kakak, apapun yang kita inginkan, kalau niat kita baik dan sungguh-sungguh, pasti Allah akan menunjukkan jalan”, itu jawaban yang selalu membuatku memberinya ciuman setiap kali dia selesai mengucapkannya. Aku ingin selalu bersamanya, bersama papa juga, tapi sebentar lagi aku akan menikah. Otomatis aku akan meninggalkannya berdua dengan papa. Kesedihanku semakin memuncak tat kala aku membayangkan wajah kedua orang yang aku sayangi. (dalam hatiku bergumam sambil menapat ke arah papa yang sedang berbincang bersama om Parman) “Papa aku belom mau menikah, aku ingin bersamamu dan Naya, biarkan aku merawat kalian berdua pengganti mama, papa aku tidak menuntut papa untuk menyekolahkanku lagi seperti apa yang aku idam-idamkan dulu, setelah lulus SMA aku ingin melanjutkan sekolahku di banguku kuliah sebagai seorang mahasiswa psikologi”. Hatiku terus bergumam penuh manja, tapi tak seorangpun yang menanggapinya. 

          Apa lagi yang harus aku lakukan, Ijab Kabul tinggal menghitung waktu, besok resepsi pernikan akan digelar, sementara acara mappacci sudah selesai dipersiapkan dari sore tadi, air passili sudah disiapkan di depan kamar tidurku, tapi sampai sekarang wajahku tidak sesumringah Naya, adikku yang manis dan lugu itu nampak senang sekali, samapi-sampai dia betah berdiri di depan cermin sembari memandangi dirinya yang sedang mengenakan baju baru untuk acara besok. Kemarin tente Rus juga telah kesekolahnya, biasa izin tidak masuk sekolah untuk acara besok.  Nayaka tampaknya juga tidak bisa memahami kondisiku sekarang, yang dia tahu kakanya akan menikah dan akan ada pesta besar dimana saat itu akan banyak tamu, banyak makanan, dan banyak passolo. 
Satu persatu acara digelar. Malam semakin larut suasana masih riuh, aku belum diperbolehkan untuk tidur sampai waktu yang ditentukan, itu sudah menjadi tradisi di suku kami. Untuk menunggu waktu sampai mandi passili dimulai, aku mengurung diri di kamar, suara dari luar kamarku sering sekali kudengar memanggil namaku.

“ zalwa...jangan tidur nak”
“ iya”
Jawabanku itu memancing mereka untuk mengetuk kembali pintu kamarku, dan memaksaku untuk membukanya. Mereka sesekali menawariku makanan entah itu coto atau barongko, kedua makan ini memang istimewa di lidahku, mereka tau itu. Dengan sedikit senyum perlahan aku buka pintu kamarku dan  membalas panggilan mereka. Tidak segan-segan mereka serontak bersuara lagi setelah melihatku keluar dari kamar.

“ eleh..eleh calon pengantin, kerjanya kamar terus. Jangan menghayal trus nak?”
“tidak tante, Cuma sedikit cape. Jadi saya membaringkan badan dikamar?”
“ Zalwa, sini sebentar nak.” Ajak tante Rus.
 Tante Rus ini kakak pertamah dari mamah, sudah seperti ibuku sendiri. Dia banyak tau tentang adat istiadat di daerah kami. 
“ iya tante”
“ bagaimana persiapanmu besok nak?”
“ persiapan yang mana tante” bingung mau jawab apa.
“ nak ada hal yang ingin tante ajarkan ke kamu”
“ apa itu tante?” perasaanku saat ini masih campur aduk. Aku tidak mengerti mau kubawa kemana perasaan ini. 
“ nak besok kalau suamimu mengucap syahadat sebelum akad nikah maka syahadatnya itu lekaslah kau sambung?”
“ maksud tante bagaimana? Aku tidak mengerti”
“ begini nak ini pelajaran buat kamu perhatikan tante dan ingat baik-baik, jangan sampai lupa ya Wa, jika suamimu mengucap ashaduallah ilaha illallah, maka segerahlah kamu sambung sebelum dia melanjutkan ke kalimat berikutnya yakni waashaduanna muhammadarrosulullah. Mengerti?”
“ iya tante aku mengerti, tapi untuk apa itu saya lakukan?”
“ Zalwa, kita ini hidup hanya sekali. Keingin menikahpun sekiranya hanya sekali. Apa yang tante ajarkan barusan itu ada faedahnya untuk rumahtanggamu kelak nak. Coba telaah baik-baik kalimat syahadat itu, satu rangkaian kalimat tauhid yang tidak boleh terputus. Niatkan dalam hati sekiranya aku dan suamiku kelak tidak akan pernah terpisah kecuali maut yang memisahkan”.

          Pesan tante membuat aku bingung, malam ini malam yang penuh dengan perenungan. Antara ingin bahagia dan menyesal, yang mana yang ku dulukan ya Allah, aku takut dengan apa yang aku rasakan sekarang. Aku takut penyesalanku ini salah posisi, jangan-jangan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku betul-betul adalah jodohku. Tapi bagaimana jika orang ini ternyata Cuma maling perasaan, datang hanya untuk merampok diriku semata tampa ingin menguasai cinta dan semua kekuranganku. Dan lagi-lagi perasaan ini berulang, kata yang sama terlontar lagi, linangan air mata tercurah lagi. Sampai kapan aku harus merenungi hal yang itu-itu saja, celoteh dalam hatiku ini tidak akan berhenti sampai aku betul-betul menemukan kebenaran bahwa ternyata lelaki pilihan ayah itu adalah tepat buatku. Dan besok setelah akad nikah perlahan setiap resahku akan terbaca. 

“ Zalwa, apa yang kamu pikirkan?” 
“ emm... tak ada tante, terimakasih ya tante. Insya Allah pesan tante akan aku jalankan, kalau aku ingat”
(matanya membelalak, mendengar jawabanku) “ bukan kalau kamu ingat, tapi kamu harus ingat”. 
“ iya tante insya allah. Kalau begitu saya boleh masuk kamar sekarang tante, aku mau merebahkan badan sejenak, sambil nunggu mandi passili”.
“ biarkan Kasma menemanimu, supaya kamu tidak tertidur”
“ tidak usah tante, lagian ini sudah jam 01.00 sebentar lagikan mandi. Sambil nunggu saya mau sholat”
“ baiklah, kamar kamu jangan dikunci”
“ iya tante”

            Air wudhu yang melekat ini terasa membuat badanku menggigil, dingin sekali. Namun rasa dingin itu hilang setelah kukenakan mukenakku, mukena pemberian almarhum ibu yang baru kupakai lagi. Mukena ini selalu kusimpan, baru aku pakai kalau hari raya, warnahnya masih baru. Sengaja aku simpan baik-baik supaya mukena ini tidak lapuk didalam lemari, setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat kepada almarhum. Aduh lagi-lagi air mataku berlinang, tak kuasa rasanya menahan kesedihan ini, bukan hanya karna aku menikah dengan laki-laki pilihan papa, tapi sekarang kesedihan itu bersumber darinya, mamaku. Aku belum memulai sholat malamku, aku hanya terdiam dikeheningan sambil menelungkupkan kepalaku di atas sajadah sembari mengusap setiap tetesan airmata yang semakin deras mengucur dari kedua mataku yang masih enggan terkatub, dalam hati ocehan masih terus kulantunkan. “ mama anak yang dua puluh tahun lalu engaku lahirkan, besok akan disunting orang. Mama  apakah kau tahu aku ingin sekali dipeluk olehmu, sama seperti yang kau lakukan kepadaku dulu, tatkala aku  dalam kegamangan”. Bagaimana bisa aku melawan kesedihanku ini.  Selama dia hidup mama selalu berada dipihakku, beliau juga selalu memenuhi keinginanku, apapun itu. Entah mengapa mama selalu saja bersikap baik kepada kami, kesalahan kami selalu beliau sikapi dengan sangat bijaksana, tegas tapi tak ganas lebih tepatnya seperti itu, meskipun aku harus menangis karena tegurannya, tapi bagiku tak pantas rasanya kalau aku harus memendam benci kepadanya, sama sekali tidak.

            Waktu semakin larut, sekarang sudah pukul 02.13 menit, terdengar ketukan dari luar kamar terdengar namaku dipanggil beberapa kali, sengaja aku tak membalas panggilan itu, perlahan aku mendengar suara pintu bedecik pecan, segera aku berdiri dan mengankat kedua tanganku, sedikit aku mengeraskan bacaan takbirku, dan kulanjutkan untuk sholat. 

“kak Zalwa lagi sholat, tante Rus.”
“oh, ya sudah. Nanti aku yang memanggilnya lagi”
Salam rakaat kedelapan telah selesai “ya Allah hilangkanlah susahku dan dukaku”, sembari membasuh muka kemudian ke dada. Dengan harapan sesulit dan sesakit apapun setiap ujian_Nya, aku selalu diberi kelapangan dan kemudahan untuk menjalaninya, Amin.
“Zalwa sudah sholat, nak?”
“iya tante, sudah”, kulihat mata tante Rus berusaha mencari wajahku yang masih kusembunyikan dengan menunduk.
“kalau tante tunggu kamu di luar ya nak”
“iya tante”.

            Air passili  sudah tersedia, jam segini mandi dengan suhu air dibawah O°C sangat tidak memungkinkan bagiku, tapi ritual turun temurun ini harus aku lakukan.  Mandi ini dimaksudkan untuk menolak semua hal negatif sang calon pengantin, jadi air disimpan di ember kemudian ditaruh beberapa jenis daun yang di daerahku disebut daun passili.  Ritual ini masih ada sampai sekarang, dan bagiku tidak ada malasah jika hal ini dilakukan, selama tidak menyalahi aturan agama, aku berusaha mengambil sisi positifnya, mandi dari air yang telah didoakan memiliki kekuatan yang sangat besar. Ya, paling tidak itu salah satu mamfaatnya buat saya. Lebih baik berfikir positif sembari melakukannya, ketimbang berfikir negatif dan tetap melakukannya kan?. 
“Zalwa, sekarang kamu boleh isterahat. Jangan lupa sholat subuh. Oh ya ingat, besok keluarga mempelai laki-laki datang sebelum jam 10.00”.
“iya tante”. Jawabku dengan menahan rasa dingin yang melilit tubuhku. Dan lagi-lagi, Masih sama seperti semula mata tante Rus masih tertuju ke wajahku yang sekarang aku sembunyikan dengan handuk. Bergegas aku meninggalkan ruang belakang menuju kamar, aku ingin sekali merebahkan badanku dan memejamkan kedua mataku malam ini, terlelap dengan nyenyak akan membawaku pada mimpi, tapi aku tak ingin mimpiku malam ini menghadirkan calon suamiku sebagai pemeran utamanya.

*****

“saya terima nikah dan kawinnya Zalwa Tenri Agung binti Muhammad Agung Mahmud, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai”.
“Dari dalam kamar suara laki-laki itu sangat jelas mengucapkan ijab kabul dengan  lantang dan tegas, tak kurang satupun kata ejaannya sangat bagus. Dan sepertinya suara itu tidak asing ditelingaku. Suara itu mirip suaranya kak Burhan” 

Burhan adalah laki-laki yang pernah menaruh janji kepadaku. Dia juga yang telah mengunci hatiku untuk laki-laki lain. Namun lima tahun yang lalu dia mencoba pergi dan menginkari janjinya kepadaku. Saat itu aku hanya menerima pesan singkat di handphoneku, kata-kata yang dia tulis sangat mengguncang perasaanku dalam pesannya itu dia mengatakan kalau dia akan pergi merantau, itu dia lakukan untuk menghindari seorang perempuan yang telah menjebaknya. Pasalnya perempuan itu sangat menyukai kak Burhan sampai-sampai dia mengaku telah dihamili olehnya. Hanya itu yang aku tahu, tidak lebih, saat itu banyak pertanyan dalam hatiku, tapi tak satupun jawaban yang aku dapatkan, bahkan keluarganya menyembunyikan perihal ini kepadaku. Sementara untuk menghubunginya sangat susah, nomor yang selama ini dia gunakan untuk berkomunikasi denganku sudah tidak diaktifkan lagi sesaat setalah aku menerima pesan singkat itu darinya. Dan sampai hari inipun dimana dia, bagaimana kabarnya, rupanya seperti apa, kondisinya bagaimana, aku sama sekali tak mengetahuinya. Dan tiba-tia saja aku mendengar suaranya, di dalam kamar yang penuh dengan kegamangan, aku terus memejamkan mataku memasang pendengaranku, mendengar laki-laki itu yang semakin dia keluarkan semakin aku yankin kalau itu memang dia, suaranya berat dan serak itu yang telah menuntun perasaanku untuk yakin kalau itu benar-benar burhan. Tapi, ada apa dibalik semua ini, mengapa dia tiba-tiba datang dan menikahiku tanpa sepengetahuanku. Mengapa pula papa merahasiankan dia dariku, sampai-sampai prosesi lamaranpun dirahasiakan. Yang aku tahu papa hanya memintaku untuk menikah dengan laki-laki pilihannya. 

Ijab kabul dan pembacaan janji nikah sudah selesai saatnya mempelai pria menghampiri pengantin perempuan dan semoga yang menghampiriku itu adalah kak Burhan. Aku tak berani mengangkat kepalaku, aku tak berani menatap suamiku. Laki-laki misterius yang telah menggugurkan nafsuku untuk menolaknya. Perlahan dia mendekat dituntun oleh salah seorang keluarga dari pihak laki-laki, saatnya prosesi mappasikarawa, prosesi ini tujuannya untuk memperkenalkan sang mempelai perempuan dan laki-laki, dengan cara sang laki-laki menyentuh bagian tertendu dari anggota tubuh sang mempelai perempuan, dengan maksud setelah prosesi ini dilakukan maka sahlah keduanya untuk saling bersentuhan. Aku belum berani menatap wajahnya, aku hanya melihat bagian tangannnya yang nampak sangat halus, jari-jarinya kecil, panjang, dan lentik, kalah dengan jemariku yang besar dan kasar karena keseringan bekerja, menyelesaikan pekerjaan rumah. 

“silahkan angkat kepalamu nak, dan lihat suamimu”. Kata bapak yang menuntunnya itu.
Perlahan aku angkat kepalaku dan kulihat sosok laki-laki putih dengan bulumata yang lentik, kulitnya putih, dan rambutnya lurus. Seketika aku tersentak, kutahan semua ego yang ingin kuluapkan saat itu. Sejenak aku tak berekspresi, mencoba menenangkan hatiku dan menahan air mataku. Aku tak tahu kata apa yang harus aku keluarkan, aku juga tak tahu ekspresi yang bagaimana yang harus aku tampakkan.  Sementara disekelilingku, memandangi kami berdua, sang pengantin baru. Gemuruh suarah untuk beberapa saat lalu tak kuhiraukan, sampai sentilan kecil mendarat di bahuku. 

“silahkan cium tangan suamimu, kemudian berdiri bersamaan”. Itu instruksi dari tante Rus.
“assalamu alaikum”. Suara kak Burhan menyapaku.
Aku tak bisa menjawabnya, aku masih berada di zona asing. Zona dimana aku tak bisa mengatur emosi dan pikiranku sendiri.
“assalamu alaikum Zalwa” dia menegurku masih dengan kelembutan.
Dan sekarang aku mulai bisa menjawab salamnya dengan sedikit senyum dan anggukan kepala.
“assalamu alaikum Zalwa” dia belum masih mengulang salamnya, mungkin saja isyaratku yang barusan belum membuatnya puas.
“waalaikum salam kak”. Suaraku tertahan, karena aku menahan tangis yang hendak menerobos dengan sangat deras.
Kak Burhan kemudian duduk pas di hadapanku, tatapanya penuh dan tertuju hanya padaku. Namun tidak demikian denganku. Senyumannya hanya bisa aku balas dengan raut yang datar dan penuh tanya. Terlalu banyak hal yang harus dia jelaskan kepadaku. Disisi lain ada hal menarik yang tiba-tiba terbersit dihatiku, setelah beberapa hari aku memendam kegalauan, sekarang setelah aku mengetahui kalau orang yang menjadi suamiku itu adalah laki-laki yang aku sukai, apakah ini berarti aku salah dengan prasangkaku sebelumnya. Apakah setelah ini aku harus berterimakasih kepada papa karna telah menjodohkanku dengan Burhan tanpa sepengetahuanku, dan  sesegera mungkin membalik hatiku dari galau, benci, bete, stress menjadi kesenangan yang berlebihan. Oh tunggu dulu, sepertinya tidak. Belum saatnya aku membalik hatiku, mungkin nanti setelah aku berbincang panjang dengan kak Burhan.

*****

Malam ini indah, malam yang dibalut dingin dengan kegamangan rembulan, yang nampaknya enggan untuk mengutuhkan bentuknya. Di depan meja hias aku berdiri sembari merapikan jilbabku, satu persatu jarum pentul di kepalaku mulai terlepas, demikian pula dengan pakaian yang kukenakan, baju bodo,  memang agak sedikit rumit melepasnya harus dengan bantuan orang lain. Belum lagi hiasan di atas kepalaku yang ternya belum kulepas. Aku berusaha untuk melakukannya sendiri, tapi tetap tidak bisa. 

“mau aku bantu”. Sahutnya
“tidak kak terimakasih”. Aku tak bisa menahan rasa maluku, suasana hatiku campur aduk. Aneh, kejadian ini bagiku seperti kejadian yang hanya bisa terjadi dalam hayalanku saja.

“tidak usah malu Wa, sekarang kita sudah sah menjadi suami istri. Aku tahu ini aneh dan membuatmu bertanya-tanya”. Sahutnya lagi, kemudian terdiam dan merebahkan badannya di atas tempat tidur.

          Aku memandanginya dari cermin,  Sesekali dia menengok ke arahku, pada saat itupula aku larikan tatapanku ke sudut lain. Suaranya terdengar sesekali, mencoba untuk mengembalikan suasana hatiku dengan berusaha membuat suasana kamar ini menjadi romantis. Namun aku sangat tahu wataknya. Dia tipe laki-laki yang tidak bisa romantis. Hal itu aku tahu dari Mila mantan pacarnya kak Burhan, Mila itu teman semasa SMA. Dia banyak cerita tentang kak Burhan kepadaku tentang keluarganya, sekolahnya, pekerjaannya, termasuk sifatnya. Dari situlah aku tahu tentangnya, dan salahnya aku karna pada saat itu aku telah mendzolimi diriku sendiri dengan menyukai orang yang sama dengan temanku Mila. Hal ini tidak pernah aku ungkapkan kepada siapapun keculai kepada mamaku. Burhan pun sesungguhnya tidak pernah tahu perasaanku kepadanya, jadi tak ada yang perlu aku takutkan. Mama pernah mengatakan kepadaku, kalau cinta itu adalah anugrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia, perasaan itu adalah naluri yang datangnya alami, siapapun memiliki perasaan cinta sama seperti yang aku rasakan, tak ada manusia yang bersalah karena telah mencintai orang lain, namun bagaimana menempatkan cinta, itu yang harus dipelajari baik-baik, jangan sampai karena kamu mencintai seseorang lantas melukai persaan orang lain pula. Perkataan mama sangat aku fahami, dan saat itu aku membiarkan hatiku untuk tetap menyimpan cinta kepada kak Burhan, dan berusaha untuk tidak menyakiti hati Mila.

          Anak pak Saleh ini memang sangat luar bisa, sosoknya yang biasa-biasa saja namun selalu bersahaja membuat kaum perempuan selalu berharap bisa dipacari olehnya, tapi setahuku kak Burhan bukan laki-laki liar yang senang memamfaatkan kondisi seperti itu. Dan tatapanku kembali mengarah kepadanya.

“mengapa kakak memilih menikah denganku?”. Tanyaku agak sedikit sinis.
“karna aku tau kalau kau mencintaiku”. Jawabannya singkat tapi agak membuatku tersentak. Darimana dia tahu kalau aku menyukainya dan menaruh cinta untuknya.
“bukankah kak Burhan banyak peminatnya, perempuan yang bukan hanya cantik tapi juga mapan dan pintar.” Kataku lagi.
“ya benar sekali, tapi cinta mereka sekadar nafsu dunia. Bukan cinta karena mereka ingin memperbaiki diri mereka.”
“maksudnya?”
“Zalwa aku tahu kalau kamu bisa memaknai cinta. Cinta itu bisa menyatukan dua insan dengan segala perbedaan, memilih seseorang bukan karena hal yang bisa menjayakan kita di dunia, tapi memilih orang yang bisa menjayakan kita didua masa yang berbeda.”
“kak Burhan terlalu percaya kepada cinta.”
“ya seperti itulah.”
Jawaban singkatnya selalu saja membuatku malas untuk kembali bertanya. 
“terimakasih Zalwa”. 
Lagi-lagi dia menjebakku dengan ucapan terimakasihnya.
“untuk apa?”
“untuk semua perasaan yang selama ini kamu pendam untukku. Terimakasih karna kamu tidak membabaniku dengan perasaan yang seharusnya aku rasakan sama seperti yang kamu rasakan”
“ aku juga mau berterimakasih” balasku yang membuatnya mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi menghadap kewajahku.
“untuk apa?” pertanyaan yang sama dia lontarkan kepadaku. 
“untuk semua perasaan yang selama ini kakak simpan untukku, sehingga sampai detik tadi kakak mengucap ijab kabul, aku masih tetap pada pendirianku untuk tidak terlalu berharap kakak bisa memilihku, karna aku taku kesedihanku terus hadir setelah aku tahu kalau suamiku itu bukan kakak”.
Mata Kak Burhan yang bening nampak berkaca-kaca mendengar kata-kataku tadi. Dia beranjak dari tempat tidur dan duduk kembali pas dibelakangku, sementara aku masih menghadapkan wajahku kecermin. Perlahan aku sudah bisa mengontrol hatiku, memposisikan hatiku pada rasa yang semestinya aku tempatkan. Meski agak sulit untuk memaknai semua ini, karna pikirku kisah seperti ini hanya terjadi di televisi dengan seribu macam rekaan, tapi sekarang cerita itu betul-betul aku alami. 
Panjang lebar kak Burhan bercerita, diolog antara kami berdua harus selesai malam ini juga. Pembicaraan kami sampai kepada mengapa dia tahu kalau aku menyukainya, dan ternyata almarhum mama lah yang membeberkan perasaanku itu disecarik kertas. Dulu aku memang pernah bercerita kepada mama tentangnya, dan dari mamalah papa tahu kalau aku menyukai seorang laki-laki, papa pun mengetahui dari secarik kertas yang ditemukan di tumpukan baju dalam lemari mama, di kertas itu mama menulis sebuah kata dalam bahas arab yang artinya, 
‘aku mencintai engkau  ya allah, aku mencintai keluargaku (suami dan anak-anakku), pertemukanlah cinta sebaik-baik cinta, cinta  yang datang dan kembalinya hanya padamu.

(Zalwa/Burhan)

            Dari tulisan itu tersirat harapan yang sangat besar dari mama untuk menikahkanku dengan orang yang aku sukai, namun pada saat itu harapan hanya sekadar harapan. Mama tahu kalau aku takut untuk mengungkapkannya, olehnya itu mama hanya bisa membantuku dalam setiap doanya. 
Setelah mengetahui keinginan mama, papa tidak tinggal diam. Dia segera mencari tahu keberadaan Burhan. Setahu papa waktu itu Burhan telah meninggalkan daerah ini, entah kemana beliau juga tidak tahu. Informasi terakhir yang papa dapat dari keluarga Burhan kalau dia sekarang menetap di daerah Jawa, tepatnya di Bandung. Informasi ini papa simpan baik-baik, takutnya berita ini  sampai ketelinga orang lain. Apalagi sampai ketelinga keluarga Jingga, perempuan inilah yang telah membuat kak Burhan pergi. Jingga nama perempuan itu dia berasal dari Kabupaten sebelah, dia mengenal Burhan karna satu lokasi pada saat KKN, awalnya mereka tak saling kenal, karena keduanya berbeda jurusan. Pasalnya dia mulai tertarik ketika pertama kali melihat Burhan, pada saat itu dia menjadi Kordinator untuk desa yang ditempatinya. Seperti biasa siapapun yang menjadi pemimpin pastinya harus mengayomi dan perhatian kepada setiap anggotanya, demikian pula yang dilakukan sang kordes. Namun yang terjadi Jingga beranggapan lain terhadapnya, dia merasa perhatian Burhan kepadanya melebihi perhatiannya kepada yang lain. Beberapa kali Jingga melakukan hal aneh yang membuat Burhan menjadi kelabakan, tak tahu harus berbuat apa. Ajakan Jingga untuk menjadikannya sebagai pacar ditolak mentah-mentah olehnya. Karena itulah Jingga nekad membuat cerita palsu tentang kehamilannya yang katanya dilakukan burhan pada saat mereka KKN. Mendengar hal tersebut keluarga Jingga menuntut keluarga Burhan untuk bertanggung jawab, namun dia bersihkeras menyatakan tidak pernah berbuat apa-apa, sama dengan kesaksian teman-teman satu posko mereka. Jingga tidak terima dengan sikap Burhan kepadanya, segala macam cara dia lakukan, Jingga saat itu telah dibutakan cinta. Sejak saat itu keluarga Burhan berinisiatif untuk memindahkan anaknya itu ke pulau Jawa, kebetulan disana ada saudara dari bapaknya. selesai pengukuhan gelar sarjana Burhan langsung ke Bandung, dia tak lagi sempat mengikuti prosesi wisuda. 

            Pada saat itulah aku mulai berfikir kalau hubunganku dengan Kak Burhan hanya sekadar pertemanan, tidak lebih. Perlahan aku mengikhlaskan hatiku, sesekali penyesalan menghampiriku, mengapa selama ini aku tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku kepadanya, apa karena aku perempuan yang memiliki rasa malu yang sangat besar, atau karena pemahamanku, bahwasanya alangkah murahannya perempuan jika dia yang pertama kali menyatakan perasaannya kepada seorang laki-laki. Apapun alasannya aku tak ingin larut dalam penyeselan. Namun apalah dayaku, aku hanya manusia biasa yang tidak bisa yang juga memiliki naluri mencintai, ternyata perasaanku tak pernah bisa berubah kepadanya. Beberapa tahun berlalu, tapi hati dan pikiranku masih saja tertuju kepadanya. Kegundahan hatiku ini hanya bisa kusimpan sendiri, aku ingin menikmati kisah ini sebaik mungkin. Sampai pada waktunya Allah memberi kesempatan untuk mencintai seseorang sama dengan aku mencintai kak Burhan.

            Disisi lain papa mulai mencari jalan supaya anakanya bisa mendapatkan kebahagian, yang selama ini diimpikannya. Papa tidak serta merta menemui keluarga Kak Burhan, tapi papa membiarkan tante Rus untuk menyelidiki dimana keberadaannya, namun tak kunjung mendapatkan berita. Pencarian tante Rus terhenti ketika seorang lelaki mendatanginya, bertanya prihal status seorang ponakannya, dialah aku. Segera berita itu sampai ketelinga papa, entah mengapa papa mengiakan dan mengisinkan pemuda itu untuk datang berkunjung kerumah kami. Aku masih ingat waktu itu, tepat malam selasa. Ada dua orang laki-laki yang datang kerumah, yang satu kelihatannya sebaya dengan papa dan yang satunya lagi nampaknya masih mudah, wajahnya dipenuhi dengan bulu, dia mengenakan kemeja putih dan celana berwarna abu-abu yang tergantung tepat di atas mata kakinya, wajahnya putih bersih dan tampan. Aku tak memperhatikan apa pembicaraan mereka, setelah mengantarkan segelas teh, aku kemudian meninggalkan mereka bertiga menuju ruang dapur untuk membereskan bekas makan malam. Lagi pula aku tak melihat pembicaraan serius diantara mereka. Waktu menunjukkan pukul 10.30, dari dalam aku mendengar mereka berpamitan. Kulihat papa mengantarnya sampai ke teras depan, kemudian masuk dan mengunci pintu. Tak satupun kalimat yang dilontarkannya kepadaku hingga dia masuk ke kamarnya.

             Keesokan harinya papa memanggilku dan memberitahukan hasil pembicaraannya semalam bersama kedua laki-laki itu. Pasalnya lelaki itu adalah teman kerja papa dulu, dia membewa anaknya untuk dikenalkan kepadaku, tapi entah mengapa papa menolaknya. Pada saat itu aku juga tidak mau bertanya lebih lanjut mengapa papa menolak lelaki itu untukku, sementara dia sudah sangat menginginkan putrinya ini menikah. Namun ternyata teman papa itu keluarga jauh kak Burhan. Dia juga tahu dimana keberadaan kak burhan pada saat itu, mendengar penjelasaan papa Wahyu anak temannya papa itu mengatakan kalau dia akan membatu papa untuk menyampaikan perihal semua tentang keinginan papa itu kepada kak Burhan. Betapa bijaksana laki-laki ini, dia tidak egois dan tidak mementingkan hawa nafsunya untuk mendapatkan cinta dari seorang perempuan yang tidak mencintainya.

             Setahun berlalu sejak kedatangan Wahyu kerumah kami, namu kabar tentang kak Burhan belum juga kunjung ketelinga papa. Dalam perenungan panjang akhirnya beliau memutuskan untuk tak juga berharap banyak kepada Burhan. Dan kembali menghubungi Wahyu untuk melanjutkan pembicaraan tentang keinginannya meminangku, apa hendak dikata ternyata Wahyu telah menikah, sekitar tujuh bulan yang lalu. Wahyu menikah dengan perempuan yang masih ada hubungan keluarga dengannya. Sejak saat itu papa tak pernah lagi menyinggung keinginannya untuk menikahkanku.

“tapi mengapa tiba-tiba kak Burhan muncul di hadapanku dan menobatkan dirinya sebagai imamku untuk selamanya”.
“Zalwa, apa yang kau hayalkan. Dari tadi aku melihat kau dia di depan cermin itu, coba lihat cerminnya saja sudah buram karena desahan nafasmu yang seketika menyembur lalu hilang lagi”. Sapanya mengagetkanku.
“tidak ada ka, tak ada!”
“jangan bohong, tidak mungkin kau mendiamkanku selama ini. Kau mengasingkanku selama 11 menit”.

           Ku tarik nafas panjang dan menelan sedikit ludahku kemudian menjawab pertanyaanya. “mengapa kakak tiba-tiba muncul dihadapanku, dan menobatkan diri sebagai imamku utnuk selamanya”. Pertanya yang sama kulontarkan kembali, kalimat ini betul-betul kulontarkan, bukan khayalan lagi.
“sudahk kuduga, pasti kau akan bertanya tentang itu. Kamu kenal Wahyu?”. Dia balik bertanaya.
Dan kuberi dia anggukan sebagai isyarat jawaban pertanyaannya.
“sebenarnya aku malu Wa’. Aku malu menampakkan wajahku dihadapanmu. Setelah Wahyu menceritakannya kepadaku, aku sama sekali tidak percaya kalau temaku Zalwa menyukaiku. Aku berpikir apa pantas aku mendapatkan perempuan sepertimu.”
“jadi kakak menikahiku karena kasihan kepadaku?”
“sama sekali tidak seperti itu, kamu salah kaprah. Aku memilihmu, karna aku mencintaimu. Mengapa aku tak mengabari orang tuamu itu karena ada hal lain yang harus aku selesaikan terlebih dahulu”. Volume suaranya membesar.
“apa kakak?” tanyaku penasaran.
“Zalwa, jujur aku tidak pernah punya perasaan kepadamu. Aku menganggapmu sebagai teman. Tapi itu dulu, makanya aku tidak langsung mengiakan permintaan Wahyu. Cukup lama masalah ini aku simpan sendiri. Aku sadar ada hal yang harus aku lakukan secepatnya, kamu tahu itu apa?” 
“apa itu?”.
“menumbuhkan cinta di hatiku untukmu”.

Kata-katanya barusan sangat mengiris hatiku, mataku keluh bibirku kaku. Kucoba menenangkan pikiranku, dengan harapan kata-kata berikutnya akan mengembalikan posisi hatiku yang beberapa menit lalu telah berada dipuncak kebahagiaan.
“dan sekali lagi maafkan aku Zalwa, karna baru sekarang cinta itu tumbuh. Dan baru sekarang aku bisa memenuhi keinginanmu dan keinginan orang tuamu”.
“apa aku memaksamu untuk jatuh cinta kepadaku, jika iya maafkan aku. Dan jika engkau mengizikan aku akan berusaha untuk menumbuhkan cinta itu di dalam hatimu. Maaf kalau aku lagi-lagi memaksamu”.

“tidak Zalwa, tidak sama sekali. Justru sekarang aku yang harus memintamu untuk mengembalikan perasaanmu yang pernah hilang untukku”.
Seketika senyumku merekah dan berkata “tidaklah sulit menumbuhkan kembali bunga yang layu karena musim, jika memang pemiliknya menginginkan bunga itu tumbuh kembali kecuali bunga itu memang sudah saatnya untuk mati, cukup dengan menyiram dan merawatnya hingga musim kembali berganti. Demikian pula denganku”.

 Kak Burhan mendekapku dengan sekuat tenaganya, kemudian mengecup keningku. Kubalas kasih sayangnya dengan menghapus air mata yang berlinang pelan di wajanya.

*****

             Dua hari setelah pernikahan kami, suasana rumah masih saja ramai. Pagi-pagi suamiku sudah pamit, dia hendak kerumah orang tuanya. Aku tidak bisa menemaninya, karna sesuai rencana besok setelah siarah ke kuburannya mama baru kami kerumah mertuaku dan menginap beberapa hari. Kata suamiku dia pulang sebentar, karena ada keluarganya yang akan pulang. Aku mengantarnya sampai depan kamar saja. Dia menjulurkan tangannya untuk disalami, aku meraihnya dengan segera, dia kembali mencium keningku. Sambil mengucapkan salam.

Tak terasa siang kembali menyapa, tapi suasana diluar nampak sangat gelap. Gemuruh angin terdengar sangat keras, sesekali petir menyambar. Aku teringat kak Burhan yang sampai sekarang tak kunjung datang. Sementara sebentar lagi nampaknya hujan akan turun. Beberapa menit kemudian ada suara dari luar, tante Rus beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu, aku kemudian membuka pintu kamarku berharap yang datang itu adalah suamiku.

“siapa tante?” tanyaku bimbang.
“daeng Amir.” Menjawab pertanyaanku, lalu kemudian menutup kembali pintunya.
“kenapa tidak disuruh masuk?”
“katanya dia buru-buru mau pulag, karna sebentar lagi hujan akan turun. Ini dia mengantarkan foto pernikahan?”
“foto?” jawabku heran. Tidak biasanya foto pengantin itu selesai secepat ini. 
“katanya ini pesanannya Burhan”.
“foto pesanan kak Burhan, untuk apa?” pertanyaan silih berganti dibenakku. Pikiranku segera aku palingkan, mungkin saja foto ini untuk keluarganya kak Burhan yang akan kembali ke Kalimantan, sebagai kenang-kenangan, makanya kak Burhan menyuruh daeng Amir untuk mencetak beberapa lembar. Tapi suamiku sudah pulang pagi tadi, dan tidak mungkin kalau aku yang harus mengantarnya, karna di luar mendung sudah semakin tebal. Satu-satunya cara adalah mengabarinya lewat telephon kalau peasannya sekarang ada padaku.
“assalamu alaikum kak”.
“waalaikum salam, kenapa dek?”
“daeng Amir tadi datang kerumah, mengantarkan foto pernikahan. Katanya pesanan kak?”
“oh iya itu pesanan aku, tunggu ya sayang. Sebentar lagi aku pulang”.
“tapi kak sebentar lagi juga akan turun hujan, dan pasti kalau kakak pulang ditengah perjalanan akan dapat hujan”.
“tapikan hujannya belum turun, Insya Allah aku akan sampai sebelum hujan sempat membasahu sehelai rambutku. Tunggu aku pulang ya sayang, aku sudah sangat rindu kepadamu.”
Tuttt...tuttt...tuttt, belum sempat aku membalas rayuannya, pembicaraan kami sudah terputus, kuperiksa handphonku tapi ada masalah, beterainya masih full, pulsanya juga masih banyak. Atau jangan-jangan jaringannya yang bermasalah, gara-gara cuaca. Padahal aku aku ingin sekali membalas rayuannya kepadaku, belum juga sehari dia meninggalkan kamar kata rindunya sudah diumbar membuat wajahku memerah karena malu. Itupun dikatakan lewat telephon, bagaimana kalau dia mengatakannya dihadapanku, aku pasti akan menghindari tatapannya. Hemmm..., tapi ngomong-ngomong apa yang dirasakan suamiku sama dengan apa yang aku rasakan, rasa cintaku semakin membuatku merindukannya. Beberapa menit kedepan aku hanya bisa menemuinya lewat hayalan. 
Aku tak sabar menunggu kedatangan suamiku, ku intip lagi teras rumah lewat jendela kamarku, tapi tak ada tanda-tanda suamiku akan datang. Hanya gerimis yang mulai menyapa, dan perlahan berubah menjadi gumpalan-gumpalan air. Setiap lima menit aku menegok ke jendela sesekali pura-pura keluar dengan berbagai macam alasan, terakhir aku mengambil segelas teh hangat untuk menemaniku menunggu kedatangannya. Sementara hujan semakin deras, jalan depan rumahpun sudah tak nampak jelas, mataku sudah tak menangkap bayangan dari kejauhan. Sudah satu jam berlalu tapi dia tak kunjung datang, pasti suamiku terhalang hujan dan harus berteduh, rasa iba dan kasihan kembali menyelimuti hatiku. 

             Sekarang sudah pukul 16.00. Tak ada tanda-tangda hujan akan redah, kegelisahan semakin menyelimuti, inisiatif terakhir adalah azhar, sholat untuk mengobati semua kegelisahanku. Kutenangkan hatiku dengan sujud, namun sampai akhir salam perasaanku masih sama bukannya tenang malah kegelisahan itu semakin menjadi. Terlebih lagi hentakan pintu jendela yang lupa aku tutup membuatku kaget, hembusan angin juga semakin kencan beberapa kertas termasuk foto yang aku simpan di atas meja semua beterbangan. Pintu jendela sudah kukunci rapat, dan sebelum aku menutup tirainya, ku arahkan lagi pandanganku keluar tapi sampai sekarang suamiku belum juga nampak memarkir motornya.

            Magrib sudah menjemput, hujan sudah mulai redah, hanya rintik yang masih terlihat betah membasahi bumi. Seribu tanya masih meronta dipikiranku, bagaimana tidak handphone suamiku juga tidak aktif. Aku menunggunya untuk berjamaah, sampai aku tidak beranjak untuk menyelesaikan magribku, hingga isya menyapa kemudian. Apa gerangan yang mengakibatkan suamiku tak juga kunjung menghapiri istrinya yang lagi dipeluk erat oleh dingin malam ini, atau mungkin saja dia kembali kerumahnya, tapi mengapa dia tidak mengabariku. Sesaat aku menosongkan pikiranku, kupenjamkan mataku tapi tak lama kemudian aku terbangun lagi.dari dalam kamar kudengar suara laki-laki memberi salam. Sengaja aku tak beranjak dari tempat tidurku, firasatku mengatakan kalau yang datang itu adalah suamiku. Aku semakin membenarkan firasatku tadi setelah aku mendengar suara pintu kamarku diketuk beberapa kali. Sengaja aku tak membukanya, aku membiarkan badanku tetap terbaring. Beberapa kali orang yang diluar kamar mengetuk pintu, sampai akhirnya dia membukanya sendiri. Sebuah tangan menyentuh kepalaku dan memanggil namaku. Tapi suaranya bukan suara suamiku melainkan suara papa, mengapa papa yang membangunkanku, mana suamiku tanyaku dalam hati. Saat itu papa mengajakku keluar, katanya ada sesorang yang sedang menunggu diluar. Dengan sedikit tergesah-gesah aku mengenakan jilbabku dan menyusul papa keluar. Aku melihat ayah kak Burhan yang duduk di kursi menghadap utara, hatiku kembali diselimuti tanya ada apa beliau menemuiku malam-malam. Mata ayah mertuaku itu nampak berkaca-kaca, mulutnya nampak enggan berbicara, sesekali dia menunduk kemudian memalingkan pandangannya ke arah papa. Tak sabar ingin mengetahui apa gerangan yang mengantarnya kemari, maka aku yang lebih dahulu memulai pembicaraan, aku bertanya tentang kabarnya, dengan siapa dia kemari dan mengapa suamiku tak masuk, aku juga sempat berpamitan sebentar untuk menjemput suamiku diluar, tapi beliau melarangku. Dia hanya menyuruhku untuk inkut kerumahnya sekarang, beliau juga mengatakan kalau suamiku menunggu disana. Dengan segera aku masuk kekamar dan mengganti pakaianku, setelah itu aku kembali keruang tamu. Aku melihat papa, tante rus, dan beberapa keluarga yang lain ikut beserta kami. Aku sedikit kaget, mengapa mereka harus ikut juga, oh betapa mereka sangat perhatian kepadaku sampai-sampai mereka harus mengantarku juga, pikirku dalam hati.
Sesampainya  di rumah suami, aku tersentak. Aku melihat keramaian yang luar biasa, seperti inikah penyambutan mereka kepadaku, aku sangat terharu. Perlahan papa memegang tanganku, dan menuntuntu masuk kerumah itu, aku memperhatikan semua wajah yang pandangannya tertuju kepadaku, namun tak satupun dari mereka yang tersenyum. Hanya air mata yang kulihat disetiap mata dan pipi mereka, sementara aku masih mencari wajah suamiku diantara mereka yang menangis, tapi tak juga aku temui. Aku langkahkan lagi kakiku menuju ruang tengah, aku melihat seseorang yang sedang tertidur, di balut kain sarung dengan aksen kotak berwarna putih, wajahnya juga tidak nampak. Tiba-tiba seorang perempuan mendekapku dari belakang dan menangis sejadi-jadinya, aku berbali memeluknya yang ternya itu ibu mertuaku. Ada apa ini ya Allah, mengapa tak sedikitpun pirasat yang nampakkan. Ibu kembali menangis sejadi-jadinya, namun suaranya sangat lemah, sambil merangkulku dia berkata bahwa suamiku telah tiada. Sesaat semua isi di kepalaku menghilang, lunglai tubuhku seketika, aliran darah dalam tubuhku juga sesaat terasa terhenti, mana mungkin orang yang baru dua hari lalu menemaniku tidur, sekarang telah menutup rapat matanya dan memilih tempat tidur lain untuk selama-lamanya. Akupun sama sekali tak sempat mengucap selamat tinggal atau sekedar mengucap kalau aku begitu mencintainya, jangankan itu aku juga sama sekali tak sempat untuk merawat atau hanya menyediakan makan malam untuknya hari ini. 
Aku melangkah menuju tempatnya pembaringannya dan kulihat wajahnya baik, seluruh badanku bergetar tanpa sadar mulutku mengoceh menyalahkan tuhan, “ya Allah cobaan apa lagi, itu betul suamiku. Engkau tega ya allah, engkau tega mengambil semua yang kucinta. Kalau engkau mau maka ambil juga aku, aku rela ya allah”. Air mataku mengucur, papa yang waktu itu ada disampaingku berusaha menenangku. Hatiku merontan, meski tangisku tertahan tapi hatiku menyimpan rasa sakit yang tak bisa kuluapkan. Bagaimana tidak orang yang lama kutunggu, hanya bisa aku cicipi, tapi tak bisa kunikmati. 

              Sampai keesokan harinya suamiku dikebumikan aku masih tidak percaya, aku selalu membangunkan diriku dari khayalan, tetapi begitu sadar ternyata aku sedang berada di dunia nyata. Kesabaran apa lagi yang harus aku tanamkan dalam hatiku, bagaimana tuhan mengatur semua ini sedemikian rupa, sehingga aku merasa aku manusia yang harus selalu memenangkan sebuah perjuangan hidup. 

Bagaimana lagi aku menjalani hari-hariku nanti, babak baru apa lagi yang harus aku lalui. Apa semestinya yang harus kuperbuat, dimana hatiku harus aku posisikan?, seperti apa aku harus menempatkan pikiranku tentang perjuanganku, mungkin cinta hanya sekedar untuk dirasakan tapi tidak untuk dimiliki. Ada harapan yang harus aku susun ulang dalam menjalani hidupku kelak. Setidaknya aku tahu bahwa mencintai seseorang itu cukup dengan sederhana, karna meski bagaimanapun setiap manusia adalah miliknya, saya atau siapapun hanya tempat penitipan, apakah itu dititipkannya lama atau hanya sebentar semua tergantung pada pemiliknya. 


Pencarian terindah

Selapas kepergian kak Burhan, aku kembali mencoba menata hati. Ini adalah takdirku, bisa atau tidak semua harus kujalani. Hanya sehari aku menikmati peranku menjadi seorang istri, setelah itu aku kembali sendiri dengan status yang berdeda. Aku yakin tuhan maha adil, apapun yang aku terima dihidupku pasti punya tujuan. Aku tidak ingin bersuudzhon kepada Tuhanku, teguran, ujian, ataupun musibah ini sebagai bentuk cintanya Allah kepadaku, cukup aku berbaik sangka kepadaNya kalau Allah begitu mencintaiku, hanya itu yang aku butuhkan sekarang ini.

Sama dengan apa yang dilakukan bapak dan keluargaku yang lain, begitupun dengan sahabat-sahabatku, tidak saudaraku dari nasyiatul aisyiah, menreka berusaha untuk menghiburku. Mereka tidak bosan-bosannya mondar-mandir datang kerumah hanya sekedar menengok dan sedik melihat senyum dari wajahku. Dan meski berat, aku akan berusaha memenuhi permintaan mereka. Sementara mereka melihat wajahku yang tak lagi mengeluarkan air mata, yang aku sembunyikan rapat-rapat. Cukup aku yang merasakannya, karna bagiku mereka tak layak menanggung kesedihan yang sama denganku. Air mata ini milikku, hanya aku yang bisa menghapusnya, bukan mereka. 
Sudahlah, ini mungkin berat tapi aku akan berusaha untuk menjauhkan kelemahan itu. Setelah aku menjadi janda, pasti banyak hal yang akan berubah termasuk pandangan orang kepadaku