Nisa sudah berada di depan gerbang sejak sejam yang lalu dan Joe belum juga muncul dari balik pintu. Dengan jelas dia bisa mendengar puji-pujian dipanjatkan oleh jemaat dari dalam gedung. Dia terus menunggu tanpa sedikit pun kejenuhan. Dan sekali lagi ponsel kesayangannya menjadi teman setia yang selalu membantu melewati waktu sendirinya. Dia masih setia berdiri di gerbang dan sesekali menyandarkan diri pada tembok gerbang. Sepertinya penantiannya akan segera berakhir. Pintu utama gedung perlahan terbuka dan seseorang telah keluar dari sana. Hanya seorang dan dia bukan Joe. Nampak sedikit gurat kecewa pada air mukanya. Seseorang tadi lewat tepat di sampingnya, seorang lelaki yang usianya hampir mendekati paruh abad. Dia kira bapak tadi akan berlalu begitu saja, tapi ternyata dia menyadari kehadiran Nisa di depan gerbang.
“Lho, ngapain di sini? Kok gak masuk nak?” bapak tadi bertanya ramah padanya.
“Nunggu teman pak, lagi ibadah di dalam.” Nisa menjawab ramah dan sebuah senyuman
untuk membalas keramahan yang dia terima.
“Bukan jemaat sini yah?”sang bapak kembali bertanya dan kembali dijawab dengan sebuah
senyum sebelum bapak tadi benar-benar pergi.
Tak lama berselang, pintu utama gedung kembali terbuka dan kini lebih lebar dan satu dua jemaat mulai keluar dari dalamnya. Nisa mengenali sesosok yang berada di tengah kerumunan jemaat yang baru saja keluar gedung. Dia tampak rapi dengan kemeja hitam dan jeans berwarna sama dengan rambut yang disisir rapi. Dari jauh bibirnya menyungging senyum lalu menghampiri Nisa masih berdiri di tempat yang sama sebelum dia masuk ke dalam gereja. Dia Joe. Joseph.
Mereka pun berjalan meninggalkan gereja menuju suatu tempat favorit mereka. Sepeda motor Joe sengaja dia tinggal di sana. Mereka ingin menikmati kebersamaan mereka dengan berjalan kaki.
“Lama yah? Maaf yah Nis dah bikin kamu nunggu..”
“Nggak apa-apa kok, dari pada kamu gak ibadah lagi.”
“Kamu gak masalah nunggu saya di depan gereja?”Pertanyaan Joe memancing Nisa tertawa kecil.
“Apa yang perlu dipermasalahkan? Tempat ibadah juga.”
“Baguslah. Kamu gak risih nunggu di luar?”
“Kenapa harus risih sih? Dipandangi aneh sama orang, iya?”
“Iya. Kan masih banyak tuh orang kek gitu.”
“Tadi malah ada yang tanyain kenapa aku gak masuk.”
“Trus?”
“Yah,aku jawab pake senyum. Pertanyaan kayak gitu dah sering kali aku dapat.
“Maksudnya sering?” Joe meminta penjelasan.
“Ini bukan kali pertamanya aku nungguin orang di depan gereja. Dulu aku sering banget, hampir tiap minggu malah. Jadi kamu gak usah khawatir. Aku dah pengalaman.”
“Kok bisa?”
Nisa kembali memasang seyum termanisnya sebelum menjawab pertanyaan Joseph.
“Dulu waktu SMA aku pacaran sama kakak kelas aku. Dia anak seorang rahib dan dia sangat taat beribadah. Karena jadwal aku sangat padat di sekolah makanya waktu untuk dia cuma hari minggu dan dia nggak pernah absen ke gereja. Jadinya aku sering nungguin dia di depan gereja sebelum aku harus masuk kelas seni.”
“Tiap minggu?”
“Gak juga. Kan tadi aku bilang hampir tiap minggu. Kalo aku ada kepentingan yang mendesak yah gak mungkin lah aku nungguin dia ibadah.”
“Berapa lama kamu sama dia?”
“Gak lama kok, cuma sekitaran lima bulan aja.”
“Gila juga yah. Lumayan lama tuh Nis. Kamu jadi rajin ke gereja juga dong.”
“Iyah.. Lebih rajin dari Joe..” Nisa menyyenggol pelan lengan Joseph untuk mengganggunya.
“Kamu gak aneh hampir tiap minggu selama lima bulan nungguin dia di depan gereja, sedangkan kamu sendiri gak pernah masuk dalam gereja?”
“Kenapa mesti merasa aneh sih?”
“Yah, karena kamu-” belum juga Joseph menyelesaikan ucapannya langsung dipotong oleh Nisa.
“Karena aku seorang muslim jadi gak boleh nunggu di depan gereja?”
Nisa mengalihkan pandangan menatap Joseph yang membalasnya dengan diam. Selanjutnya perjalanan mereka diselimuti diam. Diam yang mengatup mulut mereka. Tak ada suara yang terdengar dari mereka selain hembusan napas yang sangat kecil. Sedang di kepala mereka bergelantungan berjuta kata yang kemudian terangkai menjadi tanya dan kalimat-kalimat yang belum juga bisa mereka lontarkan. Tersendat di tenggorokan masing-masing. Mereka sibuk dengan pikiran mereka namun tangan mereka tetap bertautan erat.
Di ujung jalan telah tampak sebuah jalan kecil berbatu. Mereka berbelok menapakinya menuju sebuah taman sempit yang mereka temukan suatu hari sewaktu Joseph hunting foto untuk pamerannya. Di tengahnya terdapat sebuah bangku yang sepertinya dibuat untuk sepasang manusia saja. Sangat sederhana dan belum terjamah. Itulah mengapa mereka menyukainya. Sepeda motor Joseph masih aman di sana.
Nisa terlebih dulu merapatkan pantatnya pada bangku kayu. Dilepasnya tas dari punggungnya kemudian dia buka untuk mengambil rokok. Disulutnya lalu diisap dalam. Dia begitu menikmatinya. Dia selalu saja melakukan hal yang sama setiap kali otaknya harus memikirkan hal berat yang tak pernah dia temukan ujungnya. Sama dengan perbincangannya tadi dengan Joseph sepulang dari gereja.
Setelah merasa sedikit tenang dan menemukan keberanian untuk kembali memulai pembicaraan dengan Jospeh, dia pun membuka mulut.
“Tau gak Joe?” dia menoleh pada Joseph yang kini duduk di sebelah kanannya.
“Apa?”
“Dari dulu tuh aku pengen banget melogikakan Tuhan. Tapi aku gak bisa.” Nadanya terdengar putus asa.
“Jangan pernah dipaksain. Tuhan itu gak pernah bisa kita jangkau. Cukup kita yakini saja keberadaannya.” Joseph menasihatinya diplomatis.
“Katanya Tuhan itu satu yah Joe.”
“Memang hanya satu Nisa. Cuma perwujudan tiap agama aja yang beda.”
“Kalau memang Tuhan itu satu, kenapa kita beda Joe?”
Pandangannya lurus ke depan, namun lagi-lagi Joseph menjawabnya dengan diam. Dan memberi jalan kepada Nisa untuk terus bercerita.
“Aku merasa gak diberi keadilan Joe.”
“Maksudmu?” Joseph menatapnya dalam.
“Agama tuh cuma warisan keluarga. Aku gak mungkin menjadi seorang muslim kalau aku gak terlahir dari keluarga besar muslim. Begitu juga kamu yang nasrani karena orang tuamu nasrani juga kan. Kenapa kita gak bisa milih agama kita sendiri? Aku sudah muslim sejak aku masih dalam kandungan. Sama halnya dengan kau Joe”
“Kamu gak usah bilang kayak gitu. Toh sekarang kita yakinin agama yang kita anut kan? Kita punya kesempatan untuk berpaling kalau keyakinan kita dah luntur pada apa yang kita yakini sekarang.”
“Karena telah ditanamkan dogma sejak kita kecil, sejak kita belum tahu apa-apa Joe. Mungkin sekarang aku masih yakini agamaku lah yang benar, meskipun aku gak pernah menjalankan kewajibanku. Tapi aku pikir apa pun agama yang aku peluk ujungnya bakal seperti ini juga. Kita akan tetap bertahan dengan keyakinan kita masing-masing.”
“Kamu gak pernah mau bahas masalah agama dan keyakinan seperti ini sebelumnya. Dulu kamu selalu menolak berbicara tentang ini.”
“Karena aku capek Joe. Ngomongin masalah keyakinan itu gak akan ada ujungnya. Sama seperti Tuhan yang gak terjangkau dan gak bisa kita logikakan. Ujung-ujungnya juga berakhir pada perdebatan sengit dimana kita akan tetap kekeh memertahankan keyakinan kita masing-masing. Aku sudah cukup sakit karena keyakinan Joe.”
“Apa maksudmu dengan sakit Nisa?”
“Dulu karena perbedaan keyakinan aku harus rela putus dengan pacarku. Bukan salah dia yang anak seorang rahib sedangkan aku lahir dan tumbuh dalam keluarga muslim yang fanatik. Meskipun hanya cinta anak SMA tapi tetap aja sakit Joe. Setelah empat bulan pacaran keluargaku mengetahui bahwa tiap minggu aku nunggu dia ibadah di depan gereja. Yang pertama tahu sih teman Om aku yang dia tugaskan untuk ikut memantauku. Aku memang gak boleh pacaran sama Om aku yang satu itu. Sejak itu aku gak boleh lagi pacaran. Aku boleh berteman dengan siapa saja, tapi gak dengan pacaran. Katanya mereka ingin melindungiku. Mungkin memang benar, tapi mereka gak benar-benar tahu apa yang aku butuh.”
“Jadi karena kekecewaan itu yang membuatmu liberal seperti ini?”
“Liberal?” Nisa tertawa agak keras, terasa lucu mendengar kata itu.
“Iya. Sekarang kau cenderung melakukan apa yang kamu mau.”
“Semua yang aku lakukan bukan tanpa konsekuensi Joe. Aku merasa citra keluargaku yang religius menjadi beban berat untukku. Aku gak bisa mikul itu. Aku harus memakai jilbab sebelum merasa siap hanya untuk menjaga nama keluarga. Semuanya dibatasi Joe. Untungnya sekarang mereka lebih demokratis.”
“Jadi mereka membolehkan kamu untuk tidak beribadah? Tidak puasa? Shalat hanya dua kali setahun saja?”
“Ibadah adalah hubungan searah antara seorang hamba dan Tuhannya. Jadi apa yang aku lakukan dan apa yang tidak aku kerjakan semuanya aku yang akan tanggung. Bukan mereka. Dan mereka menghargai itu.”
“Dan soal rokok?”
“Merokok itu aku sendiri yang pilih. Toh aku sendiri yang merasakan dampaknya.”
“Kenapa kamu jadi memikirkan agama Nisa?”
“Entahlah. Karena ada yang aku takutkan Joe.”
“Dulu kamu selalu bilang sebaiknya Tuhan itu tak bernama. Kalau pun bernama cukup kita kenal dengan Tuhan saja. Aku pikir aku setuju denganmu.”
“Iya. Gak usah ada Allah, Jesus, atau Sang Hyang Widi dan Budha, Yahweh dan begitu banyak lagi nama Tuhan yang tak aku ketahui. Karena nama-nama itu yang selalu membuat kita bertikai.”
“Aku nggak pernah nyangka kamu juga memikirkan perbedaan yang ada di antara kita Nis. Aku kira kamu gak pernah peduli.”
Nisa diam seketika. Dia mendongakkan kepalanya pada langit yang berhias bintang satu-satu, dan bulan pun entah tersembunyi di mana. Kepalanya dia sandarkan pada bahu Joseph yang refleks melingkarkan tangan kirinya pada pinggang Nisa.
“Aku peduli sejak aku yakin aku butuh kamu Joe. Aku telah menjalin hubungan dengan dua cowok untuk akhirnya menyadari bahwa yang aku butuh itu kamu bukan mereka yang selalu memintaku memilih antara mereka dan aturan-aturan kamu yang selalu aku jalani. Aturan itu gak akan ada kalau Joe juga gak pernah ada. Aku mau tangan kita tak pernah terlepas meski kita berada di dua perahu yang berbeda.”
Sejenak mereka saling pandang sebelum akhirnya Nisa kembali merebahkan kepalanya di bahu Joseph yang melingkarkan tangannya pada pinggang Nisa. Pandangan mereka menerawang menembus langit malam yang tak pernah bisa mereka gapai dengan tangan mereka yang senantiasa saling bertautan.